Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Shaolin

Perhiasan Batu Alam Bukan Cuma Akik

Recommended Posts

KOMPAS.com - Batu-batu alam cantik yang menghias untaian kalung, gelang, atau lingkaran cincin, selalu memikat perempuan. Begitu indahnya hingga Faraharini (35) dan Diana Rosada Barita (50) memberanikan diri terjun ke bisnis perhiasan, dan melepaskan pekerjaan tetap mereka.

 

Perhiasan perak berhiaskan batu-batu alam memadati meja pajang gerai Lagora Jewelry dalam Pekan Produk Kreatif Indonesia, di Epicentrum Kuningan, Jakarta, pekan lalu. Batu-batu kuarsa hijau bening mengisi liontin perak persegi berukuran besar bergaya hias art deco. Di meja lain, tertata cincin koktil beraksen floral dengan motif sulur-sulur yang menguntal batu kecubung ungu.

 

Sebagian batu-batu alam mulia ini ada di Indonesia. ”Di Indonesia, semua batu dibilang akik, padahal cantik-cantik begini,” kata Faraharini, pemilik Lagora Jewelry.

 

Faraharini menyebut berbagai jenis batu seperti kecubung yang banyak di Kalimantan. Onyx hitam pekat dan Carnelian yang kemerahan ada di Jawa Timur. ”Semua bahan pembuat perhiasan tersedia, hanya bagaimana memperindahnya,” ujarnya.

 

Faraharini mendesain kalung, gelang, bros, dan cincin berbahan perak sebagai "rumah" batu-batuan itu. Ia belajar otodidak. Majalah dan buku asing dari Eropa menjadi inspirasinya. Favorit Faraharini adalah buku-buku tentang tahun 1800-an di Eropa dan art deco. ”Pesanan perhiasan dari Eropa biasanya meminta desain tertentu, misalnya, tidak terlalu ramai atau tidak terlalu suka motif bunga-bunga,” ujarnya.

 

Sebagian pembeli perhiasan Faraharini berada di luar negeri. Setiap bulannya, ia mengirim 500 perhiasan secara bergantian ke Italia, Perancis, Inggris, Jerman, Australia, Amerika, dan Kanada. Para pembeli dari negara-negara itu datang 1-2 kali setahun ke tokonya di Seminyak, Bali, untuk melihat-lihat desain baru perhiasan yang dapat dipasarkan di negara mereka. Di Indonesia, perhiasan karya Faraharini dijual ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah.

 

Menambah wibawa

Diana, pemilik De’Rizt Gemstone Jewelry juga tersihir perhiasan batu alam. Diana mengandalkan batu-batu alam sebagai elemen utama pembentuk perhiasan. Batuan seperti lapis lazuri, giok, kecubung, dan citrine diikat dengan baja putih. Logam itu tidak menimbulkan alergi dan tidak berubah warna sehingga cocok bersanding dengan batu alam yang abadi. Perhiasan dijualnya dengan harga mulai Rp 375.000 hingga jutaan rupiah.

 

”Ibu-ibu pejabat atau perempuan matang menyenangi perhiasan dari batu mulia. Katanya menambah wibawa,” ujar Diana. Siang itu, dia sendirian di gerainya. Seluruh pekerjanya sedang mengerjakan pesanan dari Los Angeles, Amerika, berupa 2.000 buah perhiasan.

 

Batu-batu alam itu naik pamornya seiring tren "kembali ke alam" di masyarakat. Batu-batuan itu pun eksklusif dan tiada duanya karena bentukan alam. Apalagi, sebagian masyarakat meyakini batu-batu alam mengandung energi yang menyembuhkan, membawa keberuntungan, atau mengusir kekuatan jahat. Batu kecubung misalnya, dipercaya membawa hoki, onyx menguatkan jiwa, dan citrine mengatasi stres.

 

Diana bercerita, pernah didatangi seorang ibu pejabat yang saraf punggungnya "kejepit" sehingga minta dibuatkan gelang dari batu kecubung. ”Saya sendiri mengutamakan batu-batu itu sebagai perhiasan dan tidak terlalu tahu khasiatnya. Tapi yang paling laris manis sampai kadang rebutan itu memang batu kecubung,” ujarnya. Perhiasan dari batu turquoise dan citrine juga laku keras.

 

Lepas pekerjaan tetap

Diana total menggeluti wirausaha produksi perhiasan setelah melepaskan pekerjaan tetapnya sebagai pimpinan cabang sebuah bank swasta di Jakarta, enam tahun lalu. Sewaktu bekerja, Diana menghitung, kebanyakan uangnya dipergunakan untuk membeli aksesori sebagai penunjang penampilan. ”Saya pikir kenapa tidak membuat perhiasan sendiri saja. Lama-kelamaan, kenapa tidak usaha perhiasan sekalian dan berhenti jadi karyawan,” ujarnya.

 

Bermodal Rp 5 juta, Diana belajar membuat perhiasan, membeli bahan seperti batu yang belum atau sudah diasah, dan melatih lima pekerja untuk membantunya memproduksi perhiasan. Sekarang, omzet Diana setidaknya Rp 100 juta per bulan. Itu belum termasuk jika ada pembeli yang akan memasarkan perhiasannya ke luar negeri atau keuntungan dari pameran.

 

Diana sempat takut berwirausaha perhiasan, tetapi ternyata produknya digemari. Kepuasannya bertambah saat melihat ulah pelanggannya. ”Mereka kalau belanja tak bisa lima menit, pasti akan sentuh, lihat, ngepas, dan ngaca dengan perhiasan. Kadang dicocokkan dengan baju atau sepatu. Rata-rata tidak mau dibungkus, langsung dipakai,” ujarnya senang.

 

Faraharini pun memutuskan berhenti bekerja sebagai staf administrasi untuk membangun bisnis perhiasannya. Awalnya, Fara yang lulusan administrasi niaga Universitas Brawijaya, Malang, bekerja sebagai humas hotel di Bali.

 

Ia kemudian bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan perak. Pada suatu hari, seorang tetangganya yang berkebangsaan Jerman menanyakan ketertarikan Fara membuat perhiasan sendiri dan berjanji membantu memasarkan karyanya saat kembali ke Jerman. Faraharini menyanggupi dan memutuskan berwirausaha.

 

”Awalnya, nangis-nangis dulu. Biasa dapat uang bulanan, kemudian tidak lagi. Saya pikir, sudah ah... jalan saja. Usaha saya masih sangat kecil. Pertama kali kirim ke Jerman cuma 50 buah. Tetapi, saya tambah semangat bertahan,” ujar Faraharini.

 

Perjuangannya berbuah manis. Saat ini, dia memasarkan karyanya ke berbagai negara, memiliki sebuah toko, dan memberi penghidupan belasan pegawainya. ”Saya mengerjakannya dengan senang dan bangga,” ujarnya.

 

(Indira Permanasari)

 

Sumber: Kompas Cetak

 

Editor :

 

Dini

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...