Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Shaolin

Mengubah Haluan Hidup dengan Perhitungan

Recommended Posts

KOMPAS.com - Ketika kesempatan untuk berubah datang dalam hidup, jalanilah. Akan tetapi, berubahlah dengan hati dan penuh perhitungan.

 

Itulah pengalaman Afit D Purwanto (33), pria yang pernah empat tahun bekerja di media massa dan kini menjadi pemilik Holycow! Steakhouse by Chef Afit.

 

Sejak dibuka pukul 17.00 hingga dua jam kemudian, kapasitas 60 kursi di restoran yang berada di sekitar Jalan Senopati, Jakarta, Sabtu pekan lalu, selalu terisi penuh. Begitu pengunjung yang di dalam meninggalkan ruangan, penggantinya yang mengantre di luar langsung mengisi kursi kosong. Keramaian ini berlangsung, biasanya, hingga sekitar pukul 23.00.

 

Di luar, yang di salah satu sisinya difungsikan sebagai dapur, Afit mengecek pekerjaan karyawannya. Sesekali, dia ikut memanggang wagyu, steak nan lembut dan juicy. Setiap harinya, 300-400 porsi steak (saat akhir pekan mencapai 600 porsi) terjual di restoran berkonsep warung yang melayani pelanggannya pada jam makan siang dan makan malam ini.

 

Sejak dibuka menjelang akhir 2010, wagyu olahan Afit—yang harganya sekitar sepertiga dari harga di restoran—menjadi buah bibir. Di awal berdiri, tempat makan ini berbentuk warung tenda di emperan jalan. Meski demikian, antrean untuk menikmati steak sudah terjadi sejam sebelum warung dibuka pada sore hari.

 

Afit pun tak pernah bisa lepas dari panasnya panggangan sejak warung dibuka hingga 300 porsi steak habis setiap hari. Apalagi, ketika itu, hanya ada lima tenaga kerja yang melayani pelanggan, termasuk Afit yang bertugas memasak.

 

Kini, bisnis wagyu murah ini berkembang. Afit sudah dibantu 37 karyawan, melayani pembeli di bangunan permanen sewaan, dan berencana membuat cabang. Padahal, suami dari pembawa acara Lucy Wiryono ini nol pengalaman ketika memulai bisnis.

 

Afit adalah seorang karyawan berposisi group head, yang membawahi enam orang account executive, di sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia sebelum akhirnya melepaskan posisinya tersebut di tahun 2010.

 

Rasa bosan yang membuat pria ini pada usia 31 tahun berani dan rela melepaskan jabatan, penghasilan bulanan, bonus, fasilitas mobil dan sopir, serta fasilitas lain selama menjadi karyawan. ”Dari sejak kuliah, saya sebenarnya ingin berbisnis. Selain itu, saya juga teringat pesan ibu bahwa ketika saya bekerja, sebisa mungkin saya harus membuka lapangan kerja untuk orang lain,” kata Afit.

 

Kejenuhan akan rutinitas pula yang membuat Novita Dewisulistyowati (41) berani memilih pensiun dini dari BUMN lembaga keuangan meski usianya, ketika memutuskan hal itu, baru menginjak 33 tahun. Padahal, di tahun ke-10 masa kerjanya, perempuan dengan nama sapaan Vita ini sudah menduduki posisi penting, yaitu risk manager yang hanya berada satu tingkat di bawah general manager.

 

”Waktu itu saya berpikir rasanya sudah terlalu lama bekerja di sana. Saya ingin mencari tantangan baru di tempat lain. Untuk itu, ketika ada informasi perusahaan akan merestrukturisasi karyawan, saya memutuskan untuk berhenti. Dengan pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, saya yakin bisa bekerja di tempat lain,” tutur Vita.

 

Tak diduga, Vita justru merasa asyik ketika berada di rumah, ”terjebak” dalam bisnis makanan yang didasari hobi lama, yaitu membuat kue. Dimulai dari membuatkan kue yang dibuatnya sendiri untuk acara ulang tahun di TK tempat anaknya bersekolah, kini bisnis yang dinamai Dapur Vita sudah bisa menerima pesanan ratusan cupcake dari perusahaan. Vita pun sudah dibantu dua asisten untuk memproduksi pesanan.

 

Berawal dari hobi

Seperti Vita, kegemaranlah yang membawa Afit pada sebuah ide membuka warung steak dengan andalan wagyu murah meriah. Keinginan tersebut dia sampaikan pada istrinya. ”Saya sempat khawatir karena berbisnis tidak mudah dan punya risiko besar. Padahal, dia punya anak-istri yang harus dibiayai,” ujar Lucy.

 

Namun, semangat yang diperlihatkan Afit membuat Lucy akhirnya mendukung gagasan suaminya. Suami istri yang akan memiliki dua anak ini berkomunikasi secara intensif. Afit mencari berbagai informasi tentang cara berbisnis. Perhitungan finansial dilakukan sedetail mungkin, tak hanya yang menyangkut kebutuhan biaya untuk berbisnis, tetapi juga untuk kehidupan sehari-hari. Segala risiko pun diperhitungkan.

 

Akhirnya diputuskanlah masa ”percobaan” selama setahun untuk mewujudkan cita-cita Afit. Selama masa itu, disepakati pula bahwa Lucy yang akan menanggung biaya hidup keluarga melalui pekerjaannya sebagai pembawa acara olahraga di televisi.

 

”Kalau dalam setahun itu bisnis saya gagal, saya masih bisa kembali ke dunia kerja yang lama karena saya pikir orang-orang di dunia kerja yang lama masih belum lupa saya. Jadi, langkah saya memulai bisnis tidak hanya berbekal semangat. Semuanya sudah diperhitungkan, tidak konyol,” kata Afit.

 

Mengubah diri dari status sebagai karyawan menjadi seorang wirausaha memang bukan hal sederhana. Antonius Tanan, Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, mengatakan, mengubah pola pikir menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan.

 

”Seorang karyawan, misalnya, bekerja berdasarkan jam kerja, sedangkan wirausaha bekerja hingga pekerjaan mereka selesai. Karyawan punya gaji yang pasti, sedangkan hidup seorang wirausaha penuh ketidakpastian. Kehidupan wirausaha juga penuh kejutan. Jangan heran kalau tiba-tiba ’dipecat’ pelanggan karena mereka tidak puas. ’Dipecat’ pelanggan itu lebih sakit hati lho dibandingkan dengan dipecat atasan,” kata Antonius.

 

Selain pola pikir, ada dua faktor lain yang bisa menjadi modal seseorang menjadi seorang wirausaha, yaitu lingkungan yang mendukung dan modal finansial. ”Jadi, finansial itu bukan faktor modal nomor satu,” lanjut Antonius.

 

Pengorbanan

Hilangnya penghasilan bulanan dengan segala bonusnya dan fasilitas kerja sempat ada di benak Afit ketika akan melepaskan pekerjaannya. Begitu pula yang dialami Vita, meski biaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sudah ditopang suaminya.

 

”Biarpun ada penghasilan dari suami, sebagai perempuan saya juga ingin mempunyai penghasilan sendiri. Kan, bisa untuk memberi orangtua atau untuk memanjakan diri sendiri,” ujar Vita.

 

Namun, seiring waktu berjalan, berkurangnya pendapatan tak lagi menjadi kekhawatiran. Selain aliran keuangan keluarga yang tetap normal, ada ”bonus” yang tak mereka peroleh ketika menjadi karyawan.

 

”Sekarang ini saya bisa mengantar anak sekolah yang sebelumnya tidak bisa saya lakukan,” kata Afit, ayah dari Danya (5).

 

Vita, ibu dari empat anak, juga bisa semakin dekat dengan keluarganya. Lulusan agrobisnis dari Institut Pertanian Bogor ini bahkan bisa ikut les bahasa Mandarin seperti yang dilakukan salah satu anaknya.

 

”Saya juga bisa les piano, kursus fotografi, dan membuat situs yang dulu tidak bisa saya lakukan karena tidak punya waktu. Apa yang saya dapat saat ini sepadan dengan yang hilang dari pekerjaan. Bahkan, lebih,” ujar Vita. 

 

(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)

 

Sumber: Kompas Cetak

 

Editor :

 

Dini

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...