Pemerintah Siapkan Rp51 T Perbaiki Infrastruktur Rusak di Aceh-Sumatra

[mother Pemilik Lapak 0]

KOMPAS.com - Jumlah anak yang mengalami gejala stres bertambah dengan berbagai penyebab. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, penyebab stres pada anak, 82,9 persen berasal dari minimnya komunikasi orangtua. Di tambah lagi, anak memiliki aktivitas yang sangat padat dan berakibat pada hilangnya hak anak untuk bermain dan berekreasi.

 

Dengan kata lain, anak stres karena berbagai tuntutan dari luar dirinya, termasuk dari orangtua. Mulai tuntutan agar anak punya nilai akademik tinggi di sekolahnya, konflik dengan teman-teman termasuk bullying, juga pengasuhan orangtua yang keliru, misalnya terlalu protektif.

 

"Orangtua punya kontribusi terhadap stres pada anak, ungkap Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak saat bincang-bincang tentang Gejala Stres pada Anak Balita di restoran Luna Negra, Jakarta, Selasa (20/3/2012) lalu.

Tidak adil

Sayangnya, lanjut Arist, banyak orangtua yang tidak mau mengaku bersalah dan memang tidak mau dipersalahkan atas gejala stres yang dialami anak. "Orangtua tidak punya refkeksi diri, tidak mau disalahkan, semau 'gue' karena merasa anak adalah miliknya, padahal anak adalah titipan," ungkap Arist menjelaskan bagaimana sikap orangtua ketika anak mengalami stres.

 

Komnas PA menerima rata-rata 200 laporan kasus per bulan, meningkat 98 persen dari tahun sebelumnya. Laporan ini juga menunjukkan adanya peningkatan gejala anak stres di Indonesia.

 

Arist mengatakan, banyak orangtua yang mengabaikan pesan tokoh agama dan nilai-nilai bahwa anak adalah titipan bukan hak milik. "Realitasnya, nilai-nilai ini tidak dipegang teguh orangtua sekarang merasa anak adalah miliknya," tambah Arist.

 

Orangtua, saran Arist, harus menempatkan anak sebagai titipan bukan hak milik, dengan begitu ia bisa berbuat adil. "Orangtua masih banyak yang diskriminatif terhadap anak, dan lebih mengedepankan hukuman," jelasnya.

 

Menurut Arist, untuk mengatasi anak yang stres tak cukup hanya dengan membangun kedekatan. Orangtua juga perlu memiliki merefleksi diri dan memposisikan dirinya seimbang dengan anak. "Orangtua juga perlu minta maaf jika bersalah atau tak memenuhi janji misalnya. Saat minta maaf, posisikan kepala sejajar dengan anak, ucapkan maaf dengan mensejajarkan diri dengannya," kata Arist mencontohkan.

 

 

Sumber