Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Shaolin

Bisnis-Muda dan Seksi dalam Balutan Batik Encim

Recommended Posts

KOMPAS.com - Berawal dari kecintaannya terhadap batik sejak bangku Sekolah Menegah Pertama, Rachmani Endrawati mewujudkan hobinya dengan membangun label batik Nila Kandi. Kecenderungan memilik batik encim yang dipilihnya pun karena ia memang sangat menyukai motif batik encim yang ramai, dan penuh warna yang menarik.

 

Endi, demikian sapaan akrab perempuan kelahiran Surabaya, 1 Oktober 1961 ini, membuat batik Nila Kandi identik dengan gaya seksi. Dengan cara ini, ia ingin menjelaskan kepada masyarakat umum bahwa batik cocok dan pantas dipakai oleh kalangan usia manapun, di mana pun, dan dalam acara apa pun.

 

"Rasanya akan lebih oke kalau desainnya juga menunjukkan keseksian wanita yang memakainya. Yang pasti tetap pantas dikenakan, dan enak dilihat," tutur Endi, seperti dikutip Tabloid Nova.

 

Endi, yang semula seorang ibu rumah tangga biasa, awalnya memang tidak berniat terjun untuk berbisnis. Niatnya hanya mengoleksi busana dan kain batik saja. Namun, rasa bosan yang melanda membuatnya iseng mendesain busana batik. Niatnya tersebut didukung penuh oleh sang suami yang berkebangsaan Inggris, David Cheadle. Tahun 2007, Endi mulai membuka tempat usaha di Kuta, Bali.

 

Hingga sekarang, Endi telah memiliki 10 gerai dan butik yang tersebar di Jakarta (antara lain di Alun-Alun Grand Indonesia), Bali, Serpong (Pendopo Alam Sutera), dan Bandung (Alun-Alun Paris van Java). Ia mengincar kalangan menengah ke atas dan pasar ekspatriat. Sayangnya, butik pertama yang dibukanya di Kuta saat ini sudah tutup. Hal ini disebabkan kesibukannya di Jakarta yang menuntut perhatian, dan menyebabkan butik di Kuta jadi tak terurus.

 

"Lagipula biaya sewanya mahal sekali, 200 juta rupiah setahun. Siapa yang sanggup?" selorohnya pada Kompas Female, usai tampil dalam acara Arisan Plus dalam tayangan televisi KOMPAS di Studio Orange, Palmerah, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

 

Endi tak berniat merendahkan diri. Meskipun tanpa promosi, lini busana Nila Kandi (dari bahasa Sansekerta yang artinya "langit biru") yang ditawarkan dengan harga mulai Rp 25.000 hingga Rp 1,5 juta tersebut telah menghasilkan omzet antara Rp 30-75 juta per bulan. Kapasitas produksinya dalam sebulan baru mencapai 100 barang, termasuk aksesori seperti tas, sepatu, serta pernak-pernik lainnya seperti taplak meja dan tatakan gelas.

 

Perempuan enerjik ini memang tidak berniat memproduksi barang secara massal. Ia mengutamakan eksklusivitas bagi para pelanggannya. Sebagai contoh, satu model busana hanya diproduksinya sebanyak 10 buah, dan semuanya disebar ke semua outlet-nya. Sepuluh busana tersebut juga dibuat dengan warna yang berbeda-beda, sehingga tidak ada baju yang sama persis.

 

Hal tersebut tentu mengharuskan Endi memikirkan betul bagaimana konsep bisnisnya. Ia juga mengatur seluruh perencanaan hingga distribusi barangnya. Ia masih ragu mempercayakan bisnisnya pada orang lain, karena khawatir mereka tak dapat memahami dan menangkap keinginannya dengan tepat.

 

Endi memang boleh dibilang single fighter dalam menjalankan bisnis batiknya. Semua proses produksi berada dalam tanggung jawabnya secara langsung, dari mencari bahan baku hingga loading barang di beberapa outlet-nya di pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta dan Bandung.

 

"Semua saya kerjakan sendiri, dari mendesain, mengantar barang, sampai menata barang di toko. Baru beberapa waktu lalu saya merekrut manager untuk dapat membantu mengatur pekerjaan saya," ungkap Endi, yang juga memiliki koleksi lini kedua dengan merek NDI.

 

Ia mencari sendiri bahan baku dengan mengunjungi perajin batik di kawasan batik pesisir seperti Pekalongan, Tuban, hingga Madura. Ia memesan motif-motif batik tulis dan cap yang sudah ada, namun dengan warna-warna yang dipilihnya sendiri. Dalam hal ini, ia lebih memilih batik tulis karena hasilnya lebih indah. Batik tulis biasanya dilukis bolak-balik di atas kain, sehingga ketika digulung atau dilipat, sisi satunya tidak terlihat putih yang mengurangi keindahan busana saat dikenakan.

 

Berangkat dari niat mulia untuk memperluas lapangan pekerjaan, Endi pun kerap memilih pembatik yang berasal kalangan menengah ke bawah, yang biasanya berasal dari desa-desa yang terpencil. Merupakan kebanggaan tersendiri baginya apabila ia berhasil memajukan perekonomian pekerja-pekerja yang dibinanya.

 

Endi sangat bersyukur atas hasil yang telah dicapainya saat ini, meski tanpa adanya promosi atau  iklan yang biasanya digunakan wirausahawan untuk dapat menggebrak penjualan. "Saya tidak menggunakan media periklanan untuk meningkatkan penjualan, karena yang saya tunjukkan adalah prestasi," kata Endi, yang hanya berpromosi gratis melalui Facebook.

 

Meskipun telah sukses, Endi tak ingin berhenti belajar. Ia tetap berusaha meningkatkan kemampuannya mendesain busana. Selain pernah belajar mengenai rancang busana di ESMOD dan jurusan Pakaian Jadi di LaSalle College, Endi juga terus menambah wawasannya mengenai pembuatan batik itu sendiri. Batik sudah menjadi passion-nya, sehingga ia bertekad mengetahui segala sesuatu mengenai dunia ini.

 

Kepuasan pelanggan juga menjadi perhatiannya yang utama. Endi selalu bersedia memberikan pelayanan ekstra kepada pelanggan untuk memperbaiki kerusakan pada batik yang telah terjual. Layanan back to order pun kerap diterima untuk memenuhi keinginan pelanggannya.

 

Endi menegaskan, kesuksesan usahanya ini tidak terlepas dari dua hal yang selalu ia tekankan, yakni selalu fokus dan enjoy dalam menjalani setiap pekerjaan yang dilakukan. Endi sangat berharap dapat lebih maju dalam bisnis yang digelutinya, serta dapat memperluas distribusi batik Nila Kandi hingga keluar negeri.

 

(Sherly Lunardi/Tabloid NOVA)

 

 

 

 

Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Plugin | Settlement Statement

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...