Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

MINYAK SAWIT INDONESIA: Ketentuan EPA AS Bisa Dipenuhi Untuk Biodiesel & Rene

Recommended Posts

JAKARTA: Ketentuan Environmental Protection Agency Amerika Serikat terhadap Notice of Data Availability (NoDA) untuk standar biodiesel dan renewable fuel yang bersumber dari minyak sawit Indonesia dapat dicapai dengan pembenahan pengelolaan hingga perangkat infrastruktur pendukung.

 

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengungkapkan pasar biofuel di Amerika Serikat yang sangat potensial perlu direspons dengan komitmen perbaikan pengembangan perkebunan sawit. Dengan begitu, sejumlah syarat yang diminta EPA dapat dipenuhi.

 

Beberapa syarat EPA yang masih mengganjal seperti perkebunan sawit sebagai bahan bakar biodiesel harus mampu mengurangi emisi hingga 20%. Perkebunan di Indonesia hanya mereduksi karbon sebesar 17%.

 

Selain itu, asumsi lain yang dianggap sulit dipenuhi yakni daur peremajaan yang perlu dilakukan setelah tinggi tanaman mencapai 6 meter. Padahal, perkebunana sawit di Indonesia rata-rata diremajakan setelah mencapai tinggi sekitar 15 meter.

 

Abetnego menilai model EPA sangat memperhatikan kandungan karbon sink yang dapat diminimalisasi. Usia peremajaan dipatok tidak bisa lebih dari 20 tahun. Dia mengatakan sejumlah upaya dapat dilakukan untuk mencapai persyaratan EPA seperti pemanfaatan limbah organik, serta efisiensi transportasi dan pabrik.

 

“Kalau perbaikan itu dapat dilakukan, bukan tidak mungkin daur tanam semakin pendek, dan semakin sedikit karbon dilepas,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (23/10/2012).

 

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengungkapkan kunjungan EPA di Indonesia diharapkan dapat menuntaskan sejumlah masalah seperti pemanfaatan lahan gambut, metan capture, dan kepemilikan kebun sawit.

 

EPA mencatat methan capture pada perkebunan sawit di Indonesia hanya sebesar 5%.  Data clean development mechanism (CDM) menunjukkan jumlah perkebunan kelapa sawit yang melakukan methan capture hanya sedikit.

 

Namun, Fadhil menargetkan 80% perkebunan sawit di Indonesia dapat melakukan methan capture pada 2022 mendatang. Implementasi pelepasan gas methan tidak dapat dilakukan 100% menyusul perkembangan investasi dan pabrik-pabrik baru.

 

“Saya berharap kunjungan EPA ke Indonesia dapat mengubah beberapa kebijakan dan persyaratan yang masih mengganjal,” katanya.

 

Deforestasi dan pembukaan lahan gambut merupakan penyumbang terbesar emisi karbon Indonesia yakni 85 % dari emisi negara. Kelapa sawit dan bubur kertas diprediksi menyumbang sedikitnya 50% dari 28 juta hektare deforestasi sampai 2030.

 

Chief Forester Tropenbos International Indonesia Petrus Gunarso mengungkapkan potensi gambut masih sangat besar untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah, serunya, perlu memetakan lahan gambut yang boleh dan tidak untuk dikelola.

 

Menurut Petrus, Indonesia memiliki 209.060.297 hektare lahan gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Hingga kini, total 1, 3 juta hektare dari 7, 2 juta hektare lahan gambut di Sumatera telah dimanfaatkan untuk pengembangan kebun sawit.

 

Kebun sawit di lahan gambut Kalimantan telah dibuka seluas 307.514 hektare, serta di Papua baru mencapai 1.727 hektare dari potensi tergarap seluas 7,75 juta hektare.

 

“Apapun kebijakan terhadap kawasan gambut, harus jelas kompensasinya bagi masyarakat dan pemegang hak kelola,” ujarnya. (bas)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...