Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Memperluas Skala Perubahan Tata Kelola Daerah

Recommended Posts

Hingga 12 tahun berotonomi daerah, kita belum memiliki kesim-pulan solid apakah desentralisasi memang suatu pilihan yang pas guna 'membangun Indonesia baru dari daerah'. Ikhtiar desentralisasi untuk men??dekatkan rentang kendali an??tara unit pemerintahan (sebagai pusat layanan) dan basis kebutuhan riil masyarakat belum sepenuhnya menghasilkan efisiensi dan relevansi kebijakan ekonomi.

 

Alih-alih, justru yang sering mengemuka adalah inefisiensi lantaran maraknya praktik perburuan rente sehingga manfaat neto kegiatan ekonomi sering tergerus oleh biaya transaksi dan pungli. Kalau hari ini perekonomian kita memulih, sebagian pihak menilai faktor kausalnya terletak pada kondisi stabilitas makroekonomi, ditopang endowment berupa sumber daya alam dan potensi pasar negeri ini.

 

Desentralisasi berada di lu??ar semua itu, jauh dari berhasil membuktikan dirinya se??bagai rute alternatif guna me??ngejar ketertinggalan Indo?ne?sia dalam lanskap per?ubah?an global yang serba di??na?mis.

 

Jika kita jernih membaca peran desentralisasi, rasanya penilaian di atas tidak se??pe?nuh?nya benar, bahkan cenderung sinis.

 

Fakta empiris di sebagian daerah yang berhasil mengapitalisasi otonomi yang mereka miliki untuk merancang kebijakan dan kelembagaan ekonomi yang inovatif adalah bukti kuat.

 

Kemampuan Kota Yogya, Banda Aceh, Makassar atau Sragen dalam membangun daya saing dan mereformasi lingkungan usaha setempat telah berbuah hasil nyata berupa meningkatnya permintaan per?izinan, realisasi investasi, dan pertumbuhan ekonomi.

 

Di sini, masalahnya bukan perihal sistem desentralisasi tetapi masih terbatasnya kisah sukses pada tataran praktik. Dampak dari perubahan di sebagian daerah tadi masih sebatas yurisdiksi mereka. Entah karena jangkauan dampaknya yang hanya bersifat lokal/regional maupun terkait jumlah daerah yang menoreh kisah sukses serupa memang masih minoritas di antara 491 kab/kota dan 33 provinsi di seantero negeri.

 

Tata Kelola Sebagai Kunci

 

Daya ungkit yang terbatas itu tak lepas dari praktik otonomi di sebagian besar daerah yang lebih terfokus pada aspek politik, administratif, fiskal. Bahkan, wacana pembangunan daerah sedasawarsa otda terasa macet pada urusan fiskal pemda, bukan ekonomi.

 

Semestinya, setelah pemda memperoleh kewenangan membuat kebijakan (desentralisasi politik) dan menjalankan manajemen pemerintahan (desentralisasi adminstratif) yang didukung pendanaan besar (desentralisasi fiskal), langkah simultannya adalah mengkapitalisasi semua sumber daya tersebut bagi berlangsungnya desentralisasi ekonomi.

 

Di sini, arah perubahannya adalah mendorong negara (pemda) berperan terbatas tetapi kuat dan relevan. Bukan lagi sentralistis dan dominan layaknya di masa lalu. Pemda berkonsentrasi penuh pada menjamin iklim usaha dan daya saing daerah yang berbasis mutu tata kelola prima, selebihnya biarkan masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi di bawah kontrol ketat negara. Segala alokasi fiskal, instrumen kebijakan, desain kelembagaan diarahkan seefektif mungkin bagi lancarnya warga berusaha. Dengan pendekatan governance reform ini juga terbuka suatu medan interaksi yang terbuka, transparan dan proporsional dalam tata kelola sektor publik di bidang ekonomi.

 

Problemnya hari ini, ketika sekian jauh kita melangkah di era otonomi, masih tak banyak pemda yang sudah berubah alam pikirnya dan merubah paradigma pembangunan mereka. Persepsi diri tetap mewarisi makna-peran rezim masa lalu yang berorientasi kuasa ketimbang pelayanan, gemar berburu rente ketimbang mendorong tumbuhnya swasta profesional, memaknai desentralisasi sebagai hajatan internal pemerintah dengan menafikan partisipasi publik dan kemitraan swasta.

 

Segala sumber daya nyaris habis terpakai untuk dirinya (2012: 291 kab/kota menghabiskan 60-76% APBD buat birokrasi), membuat laporan keuangan jauh dari mutu asas good budegatary governance (2011 hanya 67 LKPD memperoleh opini WTP), korupsi yang merebak di sejumlah titik kritis penyusunan/alokasi APBD, pemberian perijinan usaha, pengadaan barang/jasa, pembuatan kebijakan/perda yang membuat 1500 anggota DPRD, 17 gubernur dan 213 bupati/walikota tersangkut perkara korupsi.

 

Studi tata kelola (TKED) yang dilakukan KPPOD tiap tahun sepanjang era otonomi menunjukan tipologi masalah yang karakternya tak berubah banyak. Tata kelola infrastruktur sebagai aspek terpenting bagi bergeraknya ekonomi tidak justru membuat jalan, irigasi, ja??ring?an makin berkualitas tetapi justru memburuk.

 

Masalahnya bukan semata pagu anggaran yang terbatas sebagaimana diklaim selama ini. Studi terbaru KPPOD (2012) ihwal kaitan suplai fiskal dengan kualitas infrastruktur justru menunjukkan tendensi yang terbalik. Sepanjang 2007-2010, agregat anggaran belanja kab/kota untuk belanja infrastruktur berkisar antara 11%-13%.

 

Namun, alih-alih mendongkrak kualitas infrastruktur, yang terjadi malah kian tinggi saja tingkat kerusakan infrastruktur (jalan) yang dikelola Pemda. Pada 2007, panjang jalan kabupaten/kota de??ngan kondisi rusak-parah mencapai 25%, dan pada 2010 meningkat menjadi 44%.

 

Penyebabnya boleh jadi terkait kapasitas pengelolaan anggaran dan pengerjaan teknis proyek, namun posibilitas korupsi juga terlihat kuat memperburuk kinerja investasi tersebut, khususnya suap saat tender dan operasional projek tanpa pengawasan ketat. Maka, alokasi anggar?an yang meningkat itu bukan indikasi respons baik pemda atas me??ningkatnya kebutuhan layanan masyarakat tapi siasat guna membuka celah dan ?mencadangkan? ruang bagi korupsi.

 

Isu lain yang mendistorsi peluang keberhasilan desentralisasi berbasis tata kelola prima adalah biaya berbisnis yang mahal. Lamanya waktu untuk memulai usaha (rerata 36 hari) membuat inefisiensi sudah menghantui pelaku usaha sejak kesan pertama berbisnis di negeri ini. Pemda memang mencoba eksperimentasi reformasi birokrasi perizinan melalui kelembagaan terpadu (PTSP) tetapi sebagian besar hanya formalitas dan asal latah.

 

Dari 404 kabupaten/kota dan 16 provinsi yang mendirikan institusi layanan baru tersebut, hanya 5?hingga 10% yang berkinerja baik. Dasarnya memang tidak serius dan dilandasi niat setengah hati, bahkan sengaja diciptakan untuk pencitraan dan upaya mengelabui jalan ?pintu belakang? yang tetap saja terbuka lebar sebagaimana kasus suap per?izinan di Buol.

 

Catatan Akhir

 

Semua kita rasanya paham, tantangan utama berbisnis di negeri ini adalah inefisiensi dan korupsi. Desentralisasi alih-alih memfasilitasi tumbuhnya inovasi lokal untuk saling berkompetisi antardaerah dalam perbaikan tata kelola mereka, ia justru menghadirkan lingkungan persoalan pelik tak ubah?nya situasi masa silam. Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan atas tuah otonomi ini, setidaknya jika kita berkaca pada kisah sukses di sebagian tempat.

 

Untuk membuatnya berhasil, desentralisasi niscaya memerlukan segala prasyarat krusial lainnya, terutama faktor kepemimpinan lokal yang kuat, bersih, dan inovatif. Agenda perlaihan transisi menuju konsolidasi desentralisasi pada dasawarsa kedua otonomi ini adalah memastikan mesin produksi para pemimpin lokal tersebut bisa bekerja dengan kekuatan penuh.

 

Mesin ini terutama adalah parpol, tapi kalangan profesional/pebisnis, akademisi, dan pemimpin sosial juga urun peran dalam ikhtiar pen?ting tersebut. Kalau tidak, kita terus macet di zona transisi, hanya menyaksikan roda otonomi berjalan business as usual, bahkan involutif karena korupsi dan inefisiensi.

 

Maka, pada fase konsolidasi, pekerjaan rumah kita adalah mengkapitalisasi desentralisasi politik, administratif dan fiskal bagi pembangunan ekonomi.

 

Ukuran terakhir dan ultimate otonomi ini adalah kesejahteraan rakyat, sebagai satu-satunya cara paling meyakinkan publik akan faedah nyata otonomi.

 

Tanpa itu, rakyat yang terlempar ke garis tepi pembangunan hari ini akan terus merasa bukan bagian dari sistem permainan baru yang ada, datang menenteng nota keras berisi mosi tak percaya otonomi. Mereka tak butuh tahu apakah sistem otonomi ataukah cara kita berotonomi yang salah, tapi tiada?nya manfaat bersih dalam kesehariannya adalah satu-satunya dasar bagi tuntutan mundur ke masa silam.

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...