cahyadi Pemilik Lapak 0 Posted September 2, 2012 JAKARTA, KOMPAS.com -- "Wahai samudra, aku tak bisa menyimpan ombakmu, kata tepian pada laut..." Itu sepotong syair penyair Jalaluddin Rumi yang dibaca Wayan Manik, seorang anak pantai Singaraja, Bali, dalam film Rumah di Seribu Ombak, garapan sutradara Erwin Arnada. Wayan Manik melanjutkan ujaran itu dengan komentar polos seorang anak laut yang sehari-hari hidup bersahabat ombak. "Ombak memang tak bisa disimpan. Ombak selalu bebas..." Ya, laut memang bebas memuntahkan ombaknya kapan saja, sebesar apa pun. Meski begitu, Wayan Manik atau Yanik tetap memilih berumah di seribu ombak. Yanik juga bersahabat dengan Samihi. Mereka adalah dua anak bertetangga kampung di Singaraja. Mereka punya banyak perbedaan. Samihi berasal dari keluarga Muslim, rajin mengaji, dan sangat takut air, sedangkan Yanik yang beragama Hindu, putus sekolah, bekerja di laut, dan berteman dengan lumba-lumba. Namun, kedua bocah ini bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain untuk menghadapi mimpi-mimpi buruk mereka. Film ini mendeskripsikan perbedaan dari kacamata anak-anak dengan subtil dan dalam. Bagi mereka, perbedaan bukan penghalang untuk saling mengasihi. Mereka bisa menjadikan perbedaan itu bahan olok-olok, tetapi tetap setia mendukung si sahabat menjadi dirinya sendiri. Ketika Samihi disunat misalnya, Yanik memperoloknya, tetapi ia juga menemani Samihi melewatkan kesakitan karena luka sunat itu. Yanik yang sebal dengan kekakuan suara Samihi mengaji juga mendorongnya berlatih vokal pada guru mekidung atau gaguritan Bali. Dan Yanik-lah yang ikut berbahagia ketika sahabatnya menjadi juara mengaji. Ia menulis surat kepada sahabatnya itu: "Samihi saudara Muslimku. Semoga malam ini menjadi malam yang tak bisa kamu lupakan. Menjadi juara mengaji, kalau itu benar terjadi, aku ucapkan selamat..." Hal yang mengesankan dari film ini adalah kedalamannya menggambarkan karakter dan emosi anak-anak yang menjadi tokoh utama cerita. Kenapa Samihi takut pada laut, begitu gigihnya Yanik menggoda sekaligus mengajari Samihi mengatasi ketakutannya pada laut. Ketika akhirnya Samihi mulai belajar berenang, ditunjukkanlah konflik batin si bocah ini lewat adegan yang mengharukan. Menyisakan renungan Konflik yang terbangun dalam alur cerita ini bukan sekadar urusan mengatasi ketakutan pada laut. Film yang diadaptasi dari novel karya Erwin Arnada Rumah di Seribu Ombak ini menyuguhkan kompleksitas cerita. Yanik merepresentasikan hak anak yang kerap terabaikan dalam tragedi keluarga. Dia juga korban kekerasan yang tersembunyi di balik semarak pariwisata Bali. Film ini juga memberi akhir yang menyisakan renungan buat penonton. Termasuk di antaranya tentang keberagaman yang merupakan realitas kehidupan–yang teramat picik untuk diingkari. Rumah di Seribu Ombak lebih banyak diperankan oleh para pemeran pendatang baru, kecuali Lukman Sardi–yang rela membotaki kepala–sebagai ayah Samihi. Dua pemeran utama anak-anak, Risjad Aden dan Dedey Rusma, berakting dengan natural. Satu hal yang terasa mengganggu, Samihi yang keluarganya sudah lama tinggal di Singaraja, tidak bisa berbahasa Bali–tidak dijelaskan mengapa. Akibatnya, dalam dialog dengan Yanik yang banyak berbahasa Bali, ia kerap berujar, "Ngomong apaan sih." Latar alam seperti lumba-lumba yang melompat-lompat di laut hingga awan indah di langit, serta nuansa budaya Bali digunakan dengan optimal untuk mempercantik film ini secara visual. Perlu dicatat, Bali dalam film ini diambil bukan dari sisi turistiknya. Sudut pengambilan gambar yang cukup kreatif dan memberi efek puitik juga menolong film berdurasi 110 menit ini tak terjebak kesan membosankan. Musik yang digarap Thoersi Argeswara dan Gung Alit Bona juga ikut melibatkan emosi penonton. Musik tidak menjadi pengisi ruang atau ilustratif belaka, tapi menjadi bagian dari pengadegan. Kidung-kidung Bali dengan cengkok melodi khas Bali diolah menjadi berasa kontemporer tanpa kehilangan akar Balinya. Komposisi memberi kesan magis. Siluet berlatar langit misalnya, digunakan untuk menggambarkan ketika Yanik yang sedang kecewa pada Samihi sempat berniat mengejar sahabatnya itu, tetapi sesaat ragu, kemudian berbalik membatalkan niatnya. Film ini bertokoh anak-anak, dengan persoalan hidup anak-anak akibat perilaku dunia kaum dewasa. Dunia dewasa yang menjadikan anak-anak itu terluka jiwanya, trauma. Tapi seperti kata pujangga Inggris Wordsworth, the child is father of the Man... Belajarlah. (Nur Hidayati/XAR) Sumber Share this post Link to post Share on other sites