Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Honardy Boentario: Bermain dengan Risiko

Recommended Posts

Salah satu sikap yang mutlak dimiliki individu yang sukses adalah be­rani mengambil risiko dan cepat mengambil keputusan dengan perhitungan matang melakukan pi­lih­an atau langkah yang tidak diambil bahkan dihindari oleh individu lain.

 

 

Serangkaian keberanian bahkan boleh disebut cenderung nekad dan mengejutkan tersebut telah dilakukan oleh Honardy Boen­tario sejak memutuskan berkelana ke Jakarta untuk me­nempuh pendidikan dan kariernya.

 

 

Honardy yang biasa disapa Hon, termasuk nekad dan bertekad saat merantau dari Bangka ke Jakarta pada 1982. Modalnya adalah bahasa Inggris, matematika, dan pengetahuan umum. Dia percaya diri karena sejak kecil setiap pagi terbiasa mendengarkan siaran berita radio Inggris, BBC.

 

 

Ayah Hon, Boentario adalah pemasok kebutuhan untuk PT Timah yang saat itu kemudian sakit-sakitan. Selain Hon, pasangan Boentario dan Yatifa memiliki tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki lagi. Hon anak nomor empat, alias anak laki-laki pertama di keluarga itu.

 

 

Saat itu Hon sebetulnya bercita-cita menjadi teknisi sipil tetapi kedua orangtuanya cenderung memintanya agar me­nem­puh jurusan ekonomi yang saat itu cepat lulus dan cepat mendapatkan pekerjaan.

 

 

Jelang ke Jakarta, Hon sendiri sudah diterima masuk jurusan akunting Universitas Tarumanegara (Untar). Kenapa Untar, saat itu Tionghoa asal Bangka identik dengan kampus tersebut.

 

 

“Ketika saya sampai Jakarta itu adalah hari terakhir ujian masuk [universitas] Trisakti, sementara Untar menunggu pelunasan Rp1,5 juta. Saya lepas lho Untar, lalu ikut tes Trisakti. Itung-itung tes kemampuan. Orangtua tidak tahu, Trisakti kan terkenal mahal!” tuturnya.

 

 

Hon bertaruh untuk mengikuti 3 jam tes di gelanggang mahasiswa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Materi ujian adalah pengetahuan umum, bahasa Inggris dan matematika yang disebutnya adalah makanan sehari-hari. Cukup 1 jam Hon melalap soal ujian masuk yang dikerjakannya tanpa beban.

 

 

Tak diduga, Hon justru mendapatkan peringkat terbaik sehingga berhak hanya membayar uang masuk di Universitas Trisakti senilai Rp250.000, yang untuk pertama kalinya menerapkan sistem SKS.

 

 

“Saya ambil SKS gila-gilaan hampir 30 SKS sambil kerja. Karena sibuk kerja saya tidak merasakan indahnya kuliah. Namun, tiap kali ujian, tempat duduk saya sudah dicarikan kawan-kawan. Dijaga, diabsenin. Minta contekan dikasih saja. Nanti ditraktir,” kenangnya sembari tersenyum.

 

 

Setiap hari Hon bekerja sebagai guru Taman Kanak-kanak di Pluit. Untuk me­nuju Pluit dari indekos di Latumenten I no 44, Grogol, Hon menggunakan bis yang saat itu bertarif Rp50. Usai mengajar dia langsung ke kampus. Jalan kaki berkilo meter sudah menjadi makanan Hon.

 

 

Jika tak mengajar, malam atau siang, Hon mengajar anak-anak kampus dengan bayaran ditraktir makan. “Kalau tidak pagi ya malam. Jadi jatah makan pagi atau malam aman. Tiga tahun lebih be­gitu hingga kemudian pada semester ti­ga kerja di kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit Inco hingga PT Timah.

 

Mungkin sebuah kebetulan ketika Hon bekerja di PwC, tidak ada rekan-rekan sekerjanya yang sukarela dikirim ke Kalimantan. Umumnya, mereka gemar mengaudit bank, asuransi, penukaran uang alhasil Hon langganan kebagian berangkat ke Kalimantan.

 

 

Sibuk bekerja membuat Hon terbiasa efektif membagi waktu. Bahkan skripsinya pun hanya digarap delapan hari hingga sidang. Namun wisuda Hon tertunda cukup lama karena disibukkan oleh pe­kerjaan.

 

 

Tidak lama setelah bekerja di PwC, Hon kemudian ditarik untuk bergabung de­ngan Multi Harapan Utama (MHU) yang merupakan perusahaan milik Ibrahim Risjad yang berpartner dengan New Hope Indonesia (NHI), pemilik Adaro.

 

 

MHU dan NHI adalah generasi pertama raksasa batu bara pada 1986. Kebetulan karena pemilik sahamnya sama, Hon di­minta membantu Adaro mengerjakan Standar Operation Procedure (SOP) akunting mereka.

 

 

“Nah, saya kemudian dimintai bantuan membenahi PT Timah yang akan go public. Mereka bingung karena SOP akunting mereka belum baik. Saya satu di antara orang-orang yang dimintai bantuan Basuki Siddharta,” tuturnya.

 

 

Dinilai bekerja dengan baik dan setia, Hon bahkan sempat disekolahkan oleh manajemen MHU ke Brisbane, Australia pada bidang mining engineering kemudian ke Michigan, Amerika Serikat.

 

 

“Belakangan saya diberi sertifikat KP seluas 1.260 hektare di Sanga-Sanga, Kali­mantan Timur oleh New Hope sebagai se­bagai ucapan terima kasih karena telah mengabdi selama 18 tahun. Saya diberi share saham 16%. Dari profesional diberi itu. Modal saya ya cuma itu,” kenangnya.

 

 

Menurut Hon, sertifikat itulah proyek tam­bang pertamanya pada 2003 yang be­nar-benar dimulai dari hutan (green field). Tak punya modal, Hon bergerilya meminta tolong rekan-rekannya di MHU dan Adaro.

 

 

Modal Nol

 

 

“Modalnya nol. Minta tolong kontraktor untuk mengerjakan dan dibayar setelah tambang bisa berproduksi. Tambang ber­jalan hingga 2006, kemudian dibeli Sandiaga Uno dan Teddy Rah­mat,” ujarnya.

 

 

Lulus dari proyek pertama tersebut, Hon kemudian meng­garap lahan Arqom yang terkenal memiliki batu bara ber­kalori tinggi, tetapi tak seorang pebisnis pun yang berani meng­garap karena memiliki profil batu tegak serupa kue lapis berdiri.

 

 

“Saya saat itu berpikir se­derhana. Bikin saja selokan trus cepet-cepet dikeruk un­tuk menghindari genangan air. Pertama kali tak ada kon­traktor yang berani masuk. Se­telah kami garap, kami jadi percontohan tambang tegak. Dari India kemudian datang teknisi yang menyatakan orang Indonesia nekad, kalau longsor kan tenggelam!.”

 

 

Pelan tetapi pasti bisnis tambang Hon maju pesat. Le­wat PT ECI, Hon menggarap batubara di Desa Bukuan, kecamatan Palaran , Samarinda, di atas konsesi Nadvara dan Arqom seluas 1.977,33 hektare di tepi Mahakam yang merupakan usaha pertambangan terbesar di Samarinda, Kalimantan Timur.

 

 

Mahir menambang, Hon mulai me­rambah dan fokus di bidang logistik. Kekuatannya difokuskan mulai dari green field sampai ke bibir sungai. “Batu bara di Samarinda bakal habis 15 tahun lagi, kalau yang di hulu masih ratusan tahun. Pertanyaannya, lalu apa?”

 

 

Berpikir jauh ke depan, Hon mulai me­ran­cang sebuah tempat yang bisa menjadi tempat penampungan batu bara di Balik Buaya seluas 60 hektare. Visi Hon, tempat itu serupa supermarketnya batu bara.

 

 

Bagaimana bisnis supermarket berjakan. Hon menggambarkan, andai datang kapal pengangkut berkapasitas 65.000 ton maka dibutuhkan delapan tongkang batu bara yang tidak mungkin diisi persis 65.000 ton dari hulu.

 

 

Jika kurang, produsen batu bara bisa terkena denda. Sementara jika membawa sembilan tongkang maka akan ada sisa batu bara yang terpaksa harus dibawa kembali ke hulu sehingga tidak ekonomis. Belum lagi waktu tunggu. Jika memilih untuk memarkir kapal di tengah laut selain berisiko juga mahal.

 

 

“Lalu bagaimana? Ya tinggal ambil dari kami. Lebih murah daripada kembali. Se­mua produsen batu bara kini memiliki tempat penampungan batu bara. KPC dan Adaro sudah memiliki sementara di wilayah Samarinda belum ada.

 

 

Hon berhitung, begitu tambang mi­liknya di Samarinda tutup karena deposit terkuras habis maka supermarket batu baranya beroperasi dengan dua konsep. Pertama, tempat penampungan hasil tambang sembari menunggu kapal pengangkut datang dan Kedua, tempat pencampuran batu bara kualitas tinggi milik masyarakat sehingga pihaknya memiliki kesempatan menciptakan batu  bara dengan kualitas sendiri.

 

 

Dalam hitung-hitungan Hon, lokasi yang telah dibebaskannya sejak 6 tahun lalu tersebut kini sudah diincar banyak investor dari luar negeri mulai dari Jerman hingga China karena terletak di muara Sungai Mahakam yang memungkinkan kapal besar masuk.  

 

 

Hon optimistis, jika dihitung balik modal dari bisnis supermarket batu bara ini hanya butuh tempo 3 tahun. Supaya lancar seluruh independen surveyor dan perwakilan bank akan disediakan kantor sehingga berkonsep all services yang menurut Hon belum ada. Tak heran jika sebuah bank dari Afrika Selatan telah siap meminangnya. (sut)

 

*) Artikel ini disadur dari edisi cetak Bisnis Indonesia Weekend terbitan Minggu (26/8/2012)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...