Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Lebay

Dari Ideologi ke Pemerataan Ekonomi

Recommended Posts

uBlxeRerIg.jpgIlustrasi. (Foto: Corbis)

 

 

 

Tercapainya kesejahteraan sosial merupakan esensi dari pembangunan ekonomi yang sekaligus menjadi tujuan bernegara. Ideologi ekonomi harus mempunyai manfaat langsung kepada yang berpunya maupun yang tidak berpunya. Itulah sebab kenapa sejak awal kemerdekaan para founding fathers kita telah mendesain perekonomian kita dengan berorientasi kebangsaan dan kerakyatan.Pesan Moral Ekonomi

 

Konferensi ekonomi di Yogyakarta, 3 Februari 1945, Mohammad Hatta yang menjadi pembicara berusaha menjabarkan ideologi ekonomi Indonesia merdeka. Bung Hatta memulai pidatonya dengan mengurai problem ekonomi akibat warisan kolonialisme. Bertolak dari keinginan melikuidasi ekonomi kolonial, ia menegaskan bahwa ekonomi Indonesia mestilah menjauh dari individualisme dan semakin mendekat kepada kolektivisme yaitu sama sejahtera.

 

Dalam konferensi itu Hatta mengatakan: "Memang kolektivismelah yang sesuai dengan cita-cita hidup Indonesia. Sudah dari dahulu kala masyarakat Indonesia–seperti juga masyarakat Asia lainnya-berdasar kepada kolektivisme itu, yang terkenal sebagai tolongmenolong (gotong-royong)." Bermula dari saripati pidato Bung Hatta pada konferensi tersebut, Pasal 33 UUD 1945 disusun.

 

Dengan jelas bisa kita simpulkan, ekonomi Indonesia pada dasarnya dibangun dengan komitmen untuk mewujudkan demokrasi ekonomi atau kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Pada pasal tersebut juga dijelaskan betapa pentingnya norma sosial masyarakat, institusi negara, dan faktor-faktor nonekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi.

 

Artinya, tiap-tiap usaha untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia dibangun dengan menjunjung tinggi kolektivisme atau semangat kegotong-royongan, baik dalam skala makro maupun mikro. Oleh para pendahulu bangsa, "gotong-royong" terus didengungkan karena kata itu harus dibawa sebagai sikap mental.

 

Karena "gotong-royong" juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana demokrasi. Ada tujuan yang universal yaitu kesejahteraan bersama yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja.

 

Defisit Kesejahteraan

 

Dalam kenyataannya mengubah orientasi ekonomi kolonial yang eksploitatif menjadi ekonomi nasional tidaklah mudah, perlu bertahun-tahun untuk memindahkannya. Belum lagi mengubah orientasi ekonomi kolonial yang elitis kapitalis menjadi ekonomi kerakyatan merupakan perjuangan yang belum berakhir hingga saat ini.

 

Pengutamaan pertumbuhan dengan mengabaikan pemerataan semasa Orde Baru telah melumpuhkan ekonomi rakyat sehingga menjadikan fondasi ekonomi nasional rapuh, sekali ditimpa krisis runtuh. Secara bertahap, masalah tersebut harus diselesaikan. Pembangunan ekonomi Indonesia memang telah menghasilkan pertumbuhan yang mengesankan, namun masih meninggalkan residu yang tidak kalah gawat yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran.

 

Meskipun APBN telah mendekati Rp1.500 triliun, dan berbagai kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, penurunan jumlah orang miskin tidak signifikan. Pada 1990 persentase kemiskinan sebesar 15,1 persen atau setara 27,2 juta penduduk kala itu.Pada 2010 persentase penduduk miskin sebesar 13,33 persen (31,02 juta jiwa) dan 2011 turun lagi menjadi 12,49 persen.

 

Anehnya juga, ketika angka pertumbuhan ekonomi menanjak naik, indeks pembangunan manusia Indonesia justru terjun bebas. Menurut UNDP, IPM Indonesia pada 2011 di urutan ke-124 dari 187 negara yang disurvei dengan skor 0,617. Di kawasan ASEAN, Indonesia hanya unggul dari Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

 

Pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir justru menjadi lahan yang subur bagi peningkatan ketimpangan pendapatan. Angka gini rasio meningkat dari 0,33 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2011 (BPS, 2012). Dalam catatan statistik, sejak Indonesia melakukan pembangunan secara sistematis pada 1966 tidak pernah angka gini rasio menembus 0,4.

 

Di Mana Negara?

 

Fakta-fakta di atas menunjukkan pemerintah sebagai pemangku kepentingan rakyat belum mampu mewujudkan pertumbuhan yang merata dan berkeadilan. Di tengah tingginya angka pertumbuhan, Indonesia hidup berdampingan dengan jurang ketimpangan. Jauh lebih ironi lagi jika kita memperhatikan perilaku kaum elite yang masih buntu dengan persoalan korupsi. Itulah sebabnya, kita patut bertanya, di mana peran negara?

 

Bagaimana caranya, negara yang sejauh ini tampak bekerja untuk kepentingan umum bisa berdaya menghadapi pasar yang tamak? Hal itu bisa dijawab dengan menyerukan agar kita meninjau kembali "strategi pembangunan yang sentralistik" ke strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan daerah. Pertumbuhan yang bertumpu pada potensi dan keunggulan tiap-tiap daerah akan melahirkan pemerataan dan meningkatkan berbangga akan bernegara.

 

Kemandirian menghadapi terkaman pasar pun bisa tercapai. Dalam tataran kebijakan, paradigma penataan hukum, ekonomi, dan politik harus dilaksanakan sesuai blueprint jangka panjang, berpihak pada rakyat, dan tersinergi antara pusat dan daerah. Strategi pembangunan harus berkesinambungan, bukan lebih banyak berdimensi waktu pendek atau sesaat.

 

Menginjak usia Republik Indonesia ke-67 tahun ini, saatnya publik menuntut agar pemerintah serius mengabdi kepada rakyat. Pemerintah harus memperbaiki kemampuannya dalam koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi dalam manajemen kekuasaan. Negara harus terlibat aktif dan bertanggung jawab penuh dalam merumuskan kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pembangunan yang merata dan adil.

 

Jika syarat-syarat di atas bisa dilaksanakan, bukan tidak mungkin kita tidak perlu menunggu 100 tahun kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan. Apalagi jika kita benar-benar menghayati pidato Bung Hatta sebelum wafat,saat mengisi sambutan terakhirnya kepada Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada 1979.

 

Mohammad Hatta menyatakan: "…Pada masa akhir-akhir ini negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi praktik perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang menyimpang dari dasar itu...Politik liberalisme sering dipakai sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak menjadi monopoli pemerintah, tetapi dimonopoli oleh orang asing."

 

Kini, sejak 67 tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, sudah seharusnya kita merdeka dari sisi ekonomi dan politik. Menyimak pidato Bung Hatta tersebut, akankah kita lagi-lagi berpaling dari pesan sejarah?

ALI MASYKUR MUSA

Ketua Umum PP ISNU dan Anggota BPK RI (Koran SI/Koran SI/ade)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...