Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

KAFE BISNIS: Mesin ekonomi rakyat jelata

Recommended Posts

Adakah di antara Anda yang punya catatan eksak nilai ekonomi mudik Lebaran yang hiruk pikuknya saban tahun menghiasi halaman-halaman muka suratkabar dan siaran langsung di televisi?

 

Jika ada catatan itu, tentu akan menambah database indikator ekonomi, yang memang terkadang harus dikumpulkan satu demi satu, dan dengan usaha ekstra.

 

Bukan apa-apa. Soalnya, saat ini masih sulit memperoleh angka perkiraan nilai ekonomi mudik Lebaran tersebut, yang benar-benar dapat dipercayai mendekati valid. Pasalnya, memang belum pernah ada survei semacam exit poll yang biasa dilakukan lembaga survei untuk mengetahui pemenang pemilihan langsung di banyak Pilkada dan Pilpres.

 

Biasanya, dalam exit poll, pemilih di tempat pemungutan suara akan ditanya secara random oleh lembaga survei, kandidat mana yang menjadi pilihan. Berdasarkan survei exit poll semacam itu, dapat diprediksi secara lebih akurat, siapa kandidat yang bakal memenangi pemilihan.

 

Nah, jika survei semacam exit poll itu juga dilakukan kepada para pemudik, tentu lebih mudah untuk mengetahui perkiraan yang lebih eksak tentang lalulintas moneter menjelang dan seputar Lebaran.

 

Sebenarnya ada cara lain, selain survei, seperti melihat transaksi perbankan. Namun, para mudikers tak hanya melakukan transaksi non tunai, melainkan juga banyak membawa uang tunai.

 

Karena itu, meskipun bisa, penggunaan data perbankan sebagai tolok ukur nilai ekonomi Lebaran musti ditemani dengan angka riil dari transaksi tunai tersebut supaya diperoleh gambaran yang lebih pasti.

 

***

 

Saya memang tergelitik dengan berbagai capaian indikator ekonomi yang bukan hanya mengejutkan tetapi juga membuat kita semua, seharusnya, lebih optimistis.

 

Betapa tidak. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini, mencapai lebih dari 6,4%. Banyak pihak yang sering mempergunakan istilah autopilot economy–karena dinilai bergerak tanpa direksi kebijakan yang firm—tentu agak susah untuk tidak mengakui capaian tersebut.

 

Mungkin saat ini terminologi satiris lainnya yang bakal dipakai: “Ah, kondisi begini saja, yang banyak ketidakjelasan, ketidakpastian, dan ketidaktegasan, ekonomi bisa tumbuh 6,4%. Apalagi kalau semua itu lebih jelas dan pasti, tentu akan lebih tinggi lagi.”

 

Namun tanpa harus berpretensi membela pemerintahan Pak SBY –Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—izinkan saya merujuk kisah sukses Orde Baru yang berupaya membawa perekonomian Indonesia tinggal landas dengan tiga kredo utama yang disebut Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan.

 

Asumsinya, tanpa stabilitas sulit mencapai pertumbuhan, dan tanpa pertumbuhan janganlah berharap kepada pemerataan. Begitu urutan-urutannya, tak boleh dibolak-balik, apalagi diacak-acak.

 

Maka, Pak SBY bisa dibilang berhasil menjaga landasan stabilitas, terbukti dari situasi keamanan yang jauh lebih baik dibandingkan di awal-awal era reformasi.

 

Tanpa prakondisi utama tersebut, tentu sulit bagi dunia usaha untuk bergerak. Apalagi kondisi saat ini mulai menunjukkan fenomena decoupling antara dinamika politik dan aktivitas ekonomi-bisnis. Politik mau gaduh macam apapun, bisnis tetap jalan dan cuan.

 

Maka, di level yang lebih lokal, jangan heran jika banyak pengusaha besar di Jakarta dalam  hatinya sebenarnya berharap tidak ada pergantian gubernur di Ibu Kota karena ingin mempertahankan establishment.

 

“Pengusaha pada dasarnya tidak mau banyak perubahan-perubahan,” begitu seorang pengusaha senior berkata kepada saya pada sebuah kesempatan.

 

Namun, opini tersebut bisa saja dikoreksi, mengingat perubahan yang baik dan produktif tentu juga diperlukan, apalagi dilandasi stabilitas politik dan keamanan yang lebih kuat. Maka, jika itu terjadi, dinamika perekonomian tentu akan lebih menjanjikan.

 

Itulah sesungguhnya perubahan yang diinginkan. Dan itu harapan. Dan banyak harapan semacam itu kini ditumpukan kepada pemerintahan SBY, dan pemerintah baru di DKI Jakarta nanti, entah pemenangnya Fauzi Bowo ataupun Joko Widodo.

 

***

 

Manusia pada dasarnya punya naluri untuk hidup lebih baik, lebih sejahtera. Bisnis juga punya naluri untuk mengakuisisi market lebih besar, mengantungi sales lebih banyak, lalu cuan atau untung lebih besar.

 

Karena itu, tak heran jika banyak yang kecelik dan ‘salah kira’. Contoh saja ketika tiga bulan lalu banyak pihak meributkan aturan baru uang muka kredit kendaraan dan perumahan. Banyak prediksi yang menyebutkan angka penjualan mobil dan motor akan turun sebagai dampak aturan baru itu. Ternyata, justru kini angka penjualannya naik tak terkira.

 

Di balik fakta itu, tentunya,  tersimpan informasi tentang kekuatan daya beli. Di sini, tampaknya, apa yang disebut bonus demografi mulai bekerja, ketika sebuah negara bernama Indonesia dihuni anak-anak muda, yang mulai berpenghasilan, beranjak “kaya”, berbadan sehat, bergaya hidup modern, dan produktif.

 

Meski Indonesia hanya memiliki populasi 240 juta saat ini, cuma seperlima dari populasi China, tetapi kekuatan daya beli tidak bisa diabaikan begitu saja. Anda jangan silau dengan gemuknya demografi China, apalagi negeri adidaya baru itu kini diisi banyak penduduk berusia relatif menua, lantaran one child policy di masa lalu, yang sebentar lagi akan menjadi beban, bukan bonus.

 

Jangan heran pula jika kemudian muncul akronim MIST menandingi BRICS. Meksiko, Indonesia, South Korea (Korsel) dan Turki yang disebut MIST, kini menjadi primadona investasi baru, dan siap menandingi kedigdayaan BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China dan South Africa (Afsel).

 

Itu semua dasarnya adalah pertumbuhan. Banyak sih, kecemasan di beberapa kalangan menyangkut ketimpangan ekonomi atau concern terhadap isu pemerataan.

 

Bagi Anda yang punya concern itu, mungkin perlu melihat dengan cara lebih sederhana. Coba deh jalan nyetir mobil sendiri ke arah pelabuhan Merak di malam hari. Jalan tol Jakarta-Merak, rasanya kini tak pernah sepi dengan truk-truk besar penuh muatan.

 

Pemandangan semacam itu tidak Anda jumpai jika mengendara lima tahun lalu di jalur distribusi utama yang menjadi penghubung Jawa-Sumatra itu. Bahkan, 10 tahun lalu, saat awal-awal saya tinggal di Karawaci, jalan tol itu relatif sepi jiak sudah lewat tengah malam.

 

Kini gambar yang tampil jauh berbeda. Mungkin Anda akan kesal karena terjadi antrian atau kemacetan di sejumlah titik. Tapi buat saya, itu adalah petunjuk adanya perubahan: pertumbuhan sekaligus pemerataan.

 

Yang berubah, bergerak dan tumbuh ternyata tidak hanya di Jawa saja, tetapi juga di Sumatra, terutama dalam konteks distribusi barang yang melalui pelabuhan Merak.  Maka, jangan heran jika proyek Jembatan Selat Sunda kini jadi ‘rebutan’.

 

Buat saya, gambaran itu memberi energi luar biasa: optimisme yang semakin besar. Momentumnya begitu pas dengan silus mudik Lebaran tahun ini.

 

Itulah cara rakyat jelata memaknai mesin ekonomi, yang kadang hanya terungkap dalam angka-angka ruwet yang tidak mudah untuk dijelaskan dan dipahami.

 

Yang pasti, dengan sikap positif dan optimistis semacam itu, moga-moga Lebaran Tahun ini makin penuh berkah. Ekonomi akan semakin baik, dan warga lebih sejahtera, meski isu “pemerataan pertumbuhan” tetapi harus menjadi fokus perhatian utama.

 

Baiklah. Meski masih seminggu lagi, izinkan saya menyampaikan salam dan ucapan: Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. (ab@bisnis.com)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...