Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

ALFANI WIRYAWAN: Ingin Lebih Bebas Berekspresi

Recommended Posts

Kecintaannya terhadap dunia kesenian membawanya keliling Indonesia, men­je­lajahi berbagai negara, dan mendorongnya belajar otodidak bertahun-tahun hingga memu­tus­kan membuka usaha sen­diri sejak 2005 lalu.

 

Itulah sosok Alfani Wiryawan. Anak pertama dari empat ber­saudara ini bercerita dengan santai mengenai mimpinya, peng­alaman, dan kecintaannya terhadap dunia kesenian, khususnya tari dan film. Ayah asal Madiun, serta ibu Banyumas, perempuan yang akrab dipanggil Fani ini lahir dan besar di Jakarta.

 

 

Suka menari sejak kecil, pada usia 8 tahun sang ibu memasukkannya kursus tari, hingga bergabung dengan SwaraMahardika sejak SMA sebagai angkatan terakhir di sana. Masih mengikuti Guruh Soekarnoputra, Fani bergabung ketika GSP Production dibentuk.

 

 

“Etos kerja saya awalnya banyak dibentuk olen Mas Guruh, baginya tidak ada yang tidak bisa. Tidak hanya menari keliling Indonesia dan berbagai ne­gara,” ujarnya.

 

 

Sejak ke­cil sudah cin­ta dengan kesenian. Lulus SMA ingin masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tetapi tidak mendapat restu dari orangtua. Mereka memintannya kuliah eko­nomi di Perbanas. Di tengah kuliah, sempat mengambil cuti dan sekolah di ASMI.

 

 

Di tengah masa kuliah, Fani me­nemukan selebaran di kampusnya berisi tawaran lowongan pekerjaan sebagai staf produksi di rumah pro­duksi bernama Broadcast Design Indonesia (BDI). Lokasinya tidak begitu jauh, iseng melamar, diterima dan ternyata enjoy.

 

 

Dia memulai pekerjaan di BDI mulai dari posisi terbawah, mengusap riasan artis pun pernah dijalaninya sebelum pada suatu titik dirinya dipercaya menyutradarai pembuatan video klip sendiri.

 

 

BDI saat itu berkembang dengan pesat, jumlah rumah produksi belum sebanyak sekarang, hingga hampir semua artis membuat video klip mu­siknya di sana. Apalagi saat itu video klip menjadi salah satu media promosi yang efekif untuk artis dan lagunya.

 

 

Kuliah pun akhirnya banyak ter­tunda hingga berhasil lulus sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada orangtua. Jalan hidup Fani diakuinya bukan di bidang ekonomi, tetapi kesenian, mulai dari menari, menjadi sutradara, produser, hingga kini memiliki rumah produksi sendiri.

 

 

Ibu dua anak ini mengaku belajar banyak hal mengenai dunia produksi dari Richard Buntario dan Rizal Mantovani selama 6 tahun bekerja di BDI, sebelum akhirnya bersama Rizal dan Samina mendirikan rumah produksi AvantGarde Production.

 

 

Fani pun memperluas bidangnya di AvantGarde Production, tidak hanya mengurusi video klip, dia juga memproduksi program televisi untuk lima stasiun televisi di Indonesia. Salah satu program yang meledak adalah Percaya Gak Percaya yang ditayangkan di ANTV.

 

Film tak harus mahal

 

 

Selama berkarya, Fani berhasil memenangkan berbagai penghargaan, seperti Best Special Effect Video Music Indonesia Award 2002 untuk video Imelda, Terulanglagi, dan The Best Innovation Director Video Music Dangdut Award untuk video klip EvieTamala.

 

 

Pada 2005, Fani memutuskan untuk me­mulai usahanya sendiri, tidak lagi be­kerja sama dengan orang lain karena ingin lebih bebas berekspresi dan mengeksplorasi ide kreatif yang dimilikinya. Mendirikan i-Delapan yang lebih fokus memproduksi film.

 

 

“Lebih enak, tanggungj awab sendiri, lebih bebas mengekspresikan diri dalam berkreasi. Ada juga tidak enaknya, semua beban di­pikul sendiri. Bagi saya, usaha ini bukan ikut-ikutan, siapa yang serius, seleksi alam. Paling penting jalan pelan tetapi terus maju,” ujarnya.

 

 

Baginya, film berkualitas tidak perlu di­buat dengan anggaran yang yang terlalu tinggi. Ukurannya berapa bisa dijual ke stasiun televisi, bioskop, dan sponsor. Jadi jumlah penonton bisa menjadi keuntungan.

 

 

Banyak kisah produser atau rumah produksi yang terlalu berani mengambil risiko membuat film dengan biaya tinggi, di atas Rp6 miliar, tetapi tidak memperhitungkan potensi   pasar dengan baik, akhirnya filmnya jeblok di pasaran dan rumah produksi tersebut tidak terdengar lagi namanya.

 

 

“Banyak orang yang berkonsultasi ingin berinvestasi dan membuat film. Saran saya, kalau belum mengerti seluk-beluknya, lebih baik tidak coba-coba, daripada buang uang,” ujarnya.

 

 

Dia bercerita saat ini juga banyak film ko­mersil dengan anggaran murah, sekitar Rp1miliar per film. Untuk mempertahankan kualitas, dirinya mengaku memilih produksi film dengan bujet menengah, sekitar Rp5 miliar per film, kecuali ada sponsor utama, baru berani yang nilai produksinya hingga belasan miliar.

 

 

Sebuah film juga tidak hanya bergantung pada nama besar pemain saja. Kini banyak produser berani memperkenalkan wajah baru, tetapi mempertahankan jaminan kualitas dengan memasang tim berpengalaman.

 

 

Seperti Director of Photography, di Indonesia hanya ada 4-5 orang nama beken yang hampir ada di semua film. Akhirnya, banyak bibit baru kurang memperoleh ke­sempatan menggarap film dengan bujet me­nengah dan atas, kebanyakan baru sebatas film dengan biaya produksi rata-rata Rp1 miliar.

 

 

Pasukan Kapiten

 

 

Tahun ini, bekerja sama dengan Reni A Daniel, di bawah bendera Cinema Delapan, dia membuat film Pasukankapiten yang disutradarai oleh Rudi Soejarwo.

 

 

Film anak yang digarapnya ini memiliki ja­lan cerita serius mengenai perilaku kekerasan (bullying) di dunia anak. Tentu saja, film ini dikemas semenarik mungkin agar bisa diterima di pasar Indonesia.

 

 

“Saat ini Pasukankapiten masih mengikuti berbagai festival film di mancanegara, se­belum dirilis di Indonesia Januari mendatang,” ujarnya.

 

 

Film anak dipilihnya karena long lasting dan bisa menjadi media yang bagus untuk menyampaikan pesan. Termasuk membuka wawasan bahwa sebenarnya ada masalah yang harus diperhatikan pada kehidupan anak.

 

 

Berpenampilan ramah, Fani dikenal tegas saat bekerja dan tipe orang yang mempertahankan hubungan kerja dengan baik, termasuk memberikan kesempatan kepada pendatang baru berbakat, seperti fresh graduate.

 

 

Pehobi fotografi ini juga memberikan didikan keras, termasuk ketika meminta se­suatu, semua harus bisa, diusahakan hingga mak­simal. Baginya, dream come true if you believe. (fita.indah@bisnis.co.id)  (sut)

 

*) Tulisan ini disadur dari artikel di Bisnis Indonesia Weekend edisi 1 Juli 2012

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...