Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Reformasi menggerus ‘skor’ demokrasi

Recommended Posts

Mimik Prof. Ramlan Surbakti begitu prihatin ketika berbicara pada diskusi bertema Safeguard Transformation, Remake Indonesia! yang digagas Partnership for Governance Reform (PGR) atau Kemitraan di Yogyakarta, pekan lalu.

 

Keprhatinan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga itu, terutama melihat perilaku negara [pemerintah] akhir-akhir ini yang semakin jauh dari tugas utamanya sebagai pengayom rakyat. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2002-2007 ini menilai sikap negara membiarkan tindakan tidak toleran dan melanggar hukum sudah keterlaluan.

 

Dia menyebutkan, kasus Ahmadiyah dan berbagai kasus sosial, tindakan intimidasi oleh kelompok tertentu kepada rakyat tertentu lainya, serta berbagai kasus seperti gesekan di masyarakat, wabah korupsi dan ekonomi yang tidak terselesaikan secara hukum menunjukkan kegagaan negara dalam menjalankan amanat melindungi warga negara.

 

“Pembiaran terhadap tindakan tak toleran ini menjadi tanda-tanda negara lemah dan menjadi musuh demokrasi. Sebab, demokrasi didasari hukum dan tidak mentolelir pelanggaran hukum,” ujarnya.

 

Menurut Ramlan, gejala kegagalan negara tersebut sebagain merupakan andil sistem kepartaian di Indonesia yang mengarah pada oligarki politik dan pola kartel yang menguras Anggaran Negara. Negara gagal karena terfragmentasi dan bersifat transaksional.

 

Selain itu, akibat sistem kepartaian yang dianut saat ini telah melahirkan negara [pemerintah] yang cenderung traksaksional daripada cita-cita yang diharapkan, yaitu negara yang transformasional.

 

“Politik transaksional ini  imbal-belinya bukan dalam bentuk uang tapi dalam bentuk pasal. Upaya untuk mengubah wajah partai politik, telah coba didorong oleh elemen masyarakat sipil,” katanya.

 

Direktur Program Kemitraan, Agung Djojosoekarto mengemukakan kegagalan negara nampak juga dari adanya fragmentasi atau keterbelahan yang konsisten dan tidak beranjak maju dari waktu ke waktu. Contohnya adalah pemekaran daerah.

 

 

“Fragmentasi bukannya dikelola tapi justru pembelahan yang terjadi, jika ini dibiarkan akan terjadi involusi secara politik. Keterbelahan yang sangat tinggi di berbagai bidang kehidupan mengakibatkan ongkos yang mahal dalam berdemokrasi,”, katanya Agung.

 

Anggota DPD RI, Prof. Farouk Muhamad menyatakan saat ini kegagalan negara disumbang oleh dua aspek utama yang tidak bekerja optimal, yaitu penanganan mesin keamanan dan criminal justice system. Konflik-konfik sosial dan politik tidak tertangani oleh alat-alat negara. Sementara   criminal justice system ditunjukan tidak ada keterpaduan gerak antara BPK, kejaksaan, kepolisian, KPK  yang berakibat tidak efektifnya pemberantasan korupsi.

 

“Hanya 31 kasus yang dioper BPK ke polisi, jaksa, KPK. dan itu kasus-kasus kecil saja. Yang mengherankan mengapa BPK terhadap kasus besar tidak mendapatkan temuan-temuan?’’

 

Adapun budayawan Mohamad Sobary menyoroti fenomena kolonialisme kultural yang terjadi belakangan ini sudah demikian telanjang dalam tindakan ekonomi, yaitu komodifikasi budaya dalam penjajahan terhadap ekonomi rakyat.

 

“Kita lihat minimarket waralaba yang hingga ke pelosok desa menjelaskan kebijakan yang tidak berpihak pada ekonomi rakyat,”ujarnya.

 

Indeks memburuk

 

Akibat berbagai fenomena tersebut, Direktur Eksekutif Kemitraan Wicaksono Sarosa mengemukakan, meski reformasi telah berjalan 14 tahun, Indonesia belum dapat membebaskan diri dari statusnya sebagai negara gagal (failing state). Survei Failed State lndex (FSI) menyebutkan, pada 2005 Indonesia berada pada peringkat 47 dan sempat membaik pada 2011 dengan peringkat 64. Pada 2012, peringkat FSI Indonesia turun lagi ke peringkat 63.

 

Indonesia memang tidak sendiri, bersama Nusantara, Cina dan India berada kelompok ‘warning’ di urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang berada pada kelompok ini Filipina di urutan 58, Malaysia urutan 111, dan Thailand pada urutan 84. Sementara Myanmar dan Timor Leste masuk dalam kategori ‘bahaya’.

 

Linear dengan FSI, sejumlah indikator seperti Corruption Perception Lndex (CPI/IPK) menunjukkan capaian Indonesia dalam pamberantasan korupsi belum menggembirakan. Sepuluh tahun sejak survei IPK dilansir, memang terdapat peningkatan sebesar 1,0 selama kurung waktu tersebut. Pada tahun 2002 IPK Indonesia mencapai 1,9 meningkat menjadi 2,8 pada tahun 2010. Meski begitu angka tersebut masih termasuk dalam kategori buruk mengingat skala indeks adalah 1,0-10,0. Ini terlihat dari peringkat Indonesia saat ini, yaitu 110 dari 197 negara.

 

Kajian Kemitraan di tingkat nasional juga menunjukkan situasi serupa. Partnership Governance Index (PGI] di 33 Provinsi memperlihatkan, belum maksimalnya. Secara umum PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan masing-masing skor rata-rata tiap arena adalah 4,95 untuk pemerintah, 5,61 untuk birokrasi, 4,97 untuk masyarakat sipil dan 4,79 untuk masyarakat ekonomi.

 

Berdasar dimensi prinsip good governance yang berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah (open government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78 untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79 untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut, yang cenderung memperoleh skor kurang baik adalah transparansi.

 

Sementara, skor akuntabilitas terlihat terbaik di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya menggunakan indikator akuntabilitas prosedural seperti audit BPK yang telah dipatuhi oleh sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas cukup.

 

Hal itu juga diperkuat oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2008 yang dilansir oleh Bappenas. IDI disusun dengan tiga indikator yaitu Kebebasan Sipil (Civil Liberties), Hal-hak politik (Political Rights), dan Kelembagaan Demokrasi (Democratic Institutions). Skor IDI di 33 provinsi di Indonesia adalah 67,30. Indikator Kebebasan Sipil adalah indikator dengan skor tertinggi, yaitu mencapai 86,97 kemudian diikuti oleh Kelembagaan Demokrasi yang mencapai 67,72 dan Hak-hak Politik yang mencapai 54,60.

 

Hal di atas menunjukkan bahwa saat ini tingkat kebebasan masyarakat di Indonesia sudah cukup tinggi, namun belum diiringi kemantapan kelembagaan demokrasi serta hak politik.

 

Berbagai indikator substantif menunjukkan lambatnya kinerja Indonesia dalam membuktikan diri sebagai negara demokrasi baru, yang selama ini dipuji oleh masyarakat internasional. Sejumlah indikator yang memburuk di antaranya adalah tekanan demografis, tata pemerintahan, ketidakmerataan pembangunan, kemiskinan, HAM dan kekuasaan hukum, legitimasi negara, dan faksionalisasi elit.

 

Kondisi tersebut secara substansial menggugat proseduralisme-institusionalisme dalam tata pemerintahan demokratis, yang sepuluh tahun terakhir diyakini dapat menciptakan stabilitas dan kemanfaatan bagi rakyat, bangsa dan negara. Disadari atau tidak, berbagai aktor dari arena negara, pasar dan masyarakat sipil berkontribusi pada kondisi failing state Indonesia tersebut.

 

Sebab, hampir semua 'proyek' demokratisasi di Indonesia, baik yang dilakukan oleh inisiatif pelaku-pelaku domestik maupun internasional, bersifat miopik, inkremental dan tidak terkonsolidasi. Disadari atau tidak, berbagai proyek yang berparadigma liberal dan berciri rational choice institutionalism dirancang dan dilaksanakan dengan tingkat diskoneksitas tinggi. Hampir semua lapisan pemerintahan di arena negara tidak mampu membangun struktur pemerintahan yang memadu (intact government), karena kolektivitas dan kolaborasi antarpelaku nyaris tidak terjadi. (msb)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...