Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia
Masuk untuk mengikuti  
bot

Upaya SD Eka Tjipta Sungai Air Jernih Menjaga Asa Pendidikan Anak SAD

Recommended Posts

Jakarta, CNN Indonesia --

Di kawasan tepi hutan di Kabupaten Sarolangun, Jambi, sebuah sekolah dasar berdiri dengan keteguhan yang tak biasa. SD Eka Tjipta Sungai Air Jernih bukan sekadar tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi menjadi ruang perjuangan menjaga hak pendidikan anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup berpindah-pindah mengikuti kearifan leluhur mereka.

Bagi komunitas ulayat SAD, tradisi melangun-berpindah tempat tinggal bersama keluarga-adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun bagi dunia pendidikan formal, tradisi ini menjadi tantangan besar. Akses belajar yang menuntut kehadiran rutin sering kali berbenturan dengan pola hidup nomadik.

Sekolah Dasar Eka Tjipta Sungai Air Jernih di Desa Pauh yang berupaya mempertahankan kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak SAD menjadi satu contohnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini sekolah itu hanya menyisakan dua siswa asal SAD. Yang lain terpaksa meninggalkan sekolah karena kembali melangun bersama keluarga mereka.

Kepala Sekolah SD Eka Tjipta Sungai Air Jernih, Listina Martini menuturkan, pihaknya merasa prihatin dan terharu dengan kondisi ini. Menurutnya, sekolah dasar ini menerima siswa dari berbagai kalangan, termasuk SAD, setiap tahunnya. Namun di tengah tahun ajaran berlangsung sekolag kehilangan beberapa siswa yang berpindah tempat tinggal.

"Khusus siswa Suku Anak Dalam, dari puluhan siswa yang pernah kami ajar, kini hanya tinggal dua anak. Tapi ini tidak menyurutkan semangat kami. Selama siswa tersebut masih masuk sekolah dan mau belajar, kami akan terus mengajar," tuturnya.

SinarmasMenggemari pelajaran membaca dan berhitung. Davit (duduk paling kiri) dalam perkelasan bersama teman-teman dan gurunya. (Foto: Arsip Sinarmas).

Sejak berdiri, sekolah ini tercatat telah mendidik sedikitnya 25 siswa SAD. Proses belajar mereka pun tidak disamakan dengan siswa lainnya. Pendekatan personal menjadi kunci utama, terutama untuk membangun rasa percaya diri anak-anak yang kerap merasa terpinggirkan.

Elfira, seorang guru yang telah mengabdi selama 12 tahun di sekolah tersebut, menyebut bahwa pendidikan bagi anak SAD bukan semata soal akademik. Pihak guru harus terlebih dahulu membangkitkan rasa percaya diri mereka bahwa mereka mampu dan berhak untuk belajar.

"Kendala yang kerap dialami siswa adalah tidak masuk sekolah dalam waktu yang lama karena mereka ikut melangun bersama orang tuanya. Tapi kami percaya, pendidikan adalah kunci agar mereka bisa beradaptasi tanpa meninggalkan identitasnya.

Dua siswa yang masih bertahan pun kini menjadi harapan besar. Salah satunya adalah Davit Leno, siswa kelas VI berusia 14 tahun.

"Kedua anak yang tersisa ini adalah harapan kami. Mereka adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik bagi komunitas mereka," ujar Elfira.

Davit mengungkapkan keinginannya untuk dapat terus bersekolah. Keinginannya tak muluk-muluk, bahwa dengan belajar dia bisa meraih impiannya sehingga bisa membantu kedua orang tua.

"Saya suka belajar membaca dan berhitung. Saya mau pintar supaya bisa membantu Bapak dan Ibu," ucapnya.

Eka Tjipta Foundation (ETF), yang mendampingi sekolah-sekolah di bawah naungan Sinar Mas Agribusiness & Food, melihat dinamika ini sebagai panggilan untuk mencari solusi yang lebih adaptif.

Advisor ETF sekaligus praktisi pendidikan, Edi Sadono menilai sistem pendidikan konvensional perlu disesuaikan dengan realitas kehidupan komunitas adat. Menurutnya, peran pendidikan bagi Suku Anak Dalam sangat vital, tidak hanya untuk literasi, tetapi juga untuk membantu mereka menghadapi perubahan lingkungan.

"Kita perlu sistem pendidikan yang adaptif dan berbasis komunitas, yang bisa diakses meskipun mereka berpindah-pindah. Anak-anak ini harus tetap terjangkau oleh cahaya ilmu," jelasnya.

SinarmasEdi Sadono bersama Davit yang didampingi sang ibu, Kesia Nornelia (ketiga dari kiri), Kepala Sekolah, Listina Martini (paling kiri) di ruang kelas. Mengupayakan sistem pendidikan yang lebih fleksibel untuk memfasilitasi siswa yang berasal dari komunitas ulayat. (Foto: Arsip Sinarmas).

Sebagai bentuk komitmen, pihak sekolah tetap mencatat nama kedua siswa SAD tersebut dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Dengan demikian, kapan pun mereka kembali dari melangun, pintu sekolah tetap terbuka bagi mereka.

Upaya ini, para pendidik menyadari, tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan sinergi berbagai pihak, mulai dari sekolah, yayasan, dinas pendidikan, hingga pembuat kebijakan, untuk merumuskan sistem pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.

Sementara bagi anak-anak SAD tetap harus mendapat hak pendidikan tanpa mengabaikan kearifan lokal dan akar budaya mereka.

(ory/ory)

====
[1]

References

  1. ^ ==== (www.cnnindonesia.com)

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites
Masuk untuk mengikuti  

×
×
  • Create New...