Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia
Masuk untuk mengikuti  
bot

Tepatkah Burden Sharing BI - Kemenkeu Demi Ongkosi Asta Cita Prabowo?

Recommended Posts

Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat menerapkan skema burden sharing[1] atau pembagian beban bunga Surat Berharga Negara (SBN) untuk mendukung program Asta Cita[2] Presiden Prabowo Subianto.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pihaknya telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder hingga Rp200 triliun. Sebagian dana dari hasil pembelian SBN kemudian dialokasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mendanai program Asta Cita seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.

"Pembelian SBN dari pasar sekunder kami update kemarin dan sejak kemarin kami telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun data terbaru kemarin termasuk untuk debt switching," kata Perry dalam rapat dengan Komisi IV DPD, Selasa (3/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebagian dana dari SBN ini untuk pendanaan program-program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita seperti perumahan rakyat, Koperasi Desa Merah Putih, dengan burden sharing atau pembagian beban bunga yang tentu saja bersama BI dan Kementerian Keuangan dan karenanya akan mengurangi beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita," sambungnya.

Skema burden sharing pertama kali muncul saat krisis di masa pandemi covid. Jadi, Bank Indonesia (BI) berbagai beban dengan pemerintah dalam membiayai penanganan covid di dalam negeri lewat pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar primer.

Kala itu, komitmen tanggung renteng diteken melalui surat keputusan bersama (SKB) I hingga III. Burden sharing menjadi kebijakan khusus, mengingat selama ini Bank Indonesia cuma boleh membeli SBN di pasar sekunder. Artinya, BI membeli SBN dari investor, bukan langsung dari negara.

Merujuk aturan perundang-undangan, BI memang diperbolehkan membeli SBN di pasar sekunder. Namun, bank sentral juga diizinkan membeli SBN dari pasar primer atau langsung dari negara jika kondisi krisis.

Hal ini tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan alias UU PPSK. Beleid itu diteken Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 12 Januari 2023.

Pembelian di pasar perdana adalah pembelian langsung surat utang negara oleh investor melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO), dengan harga dan periode waktu tertentu yang ditetapkan pemerintah. Setelah masa penawaran berakhir, surat utang itu tak lagi tersedia di pasar perdana, dan hanya bisa diperoleh di pasar sekunder.

Di pasar sekunder, investor bisa menjual surat utang negara lebih mahal atau justru didiskon dari harga yang ditetapkan pemerintah. Jual-beli berlangsung antar investor, bukan lagi antara investor dan pemerintah. Transaksi di pasar sekunder tak terbatas masa penawaran, bisa dilakukan setiap hari kerja bursa.

Pembelian SBN senilai Rp200 triliun memang dilakukan di pasar sekunder, tetapi Perry sempat menyinggung skema burden sharing dengan Kemenkeu. Ini memancing soal, apakah burden sharing era covid mengalami pergeseran makna? Lantas, tepatkah skema burden sharing dilakukan untuk mengongkosi program Asta Cita Prabowo?

Kepala Pusat Makroekonomi Indef Rizal Taufiqurrahman mengatakan awalnya skema burden sharing antara pemerintah dan BI lahir dalam kondisi darurat post pandemi covid-19 (2020-2022). BI menanggung sebagian biaya bunga SBN yang diterbitkan pemerintah untuk pendanaan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi.

"Skema ini sifatnya temporer dan extraordinary, karena normalnya bank sentral tidak boleh membiayai defisit APBN secara langsung," katanya.

Ia mengatakan kalau BI membeli SBN di pasar sekunder, itu bukan bagian dari skema burden sharing yang sempat dijalankan saat pandemi. Singkatnya, burden sharing bersifat fiscal support langsung ke pemerintah dengan skema cost sharing, sementara pembelian SBN di pasar sekunder lebih ke market stabilization dan kebijakan moneter.

"Jadi, ketika BI membeli SBN dari investor di pasar sekunder (misalnya untuk menurunkan yield atau stabilisasi volatilitas), itu masuk ranah monetary operations, bukan beban bersama dengan pemerintah," katanya.

Ia mengatakan penggunaan skema burden sharing di fase sekarang jelas patut dipertanyakan karena landasan hukumnya dirancang untuk situasi luar biasa, seperti pandemi covid-19 yang menimbulkan krisis kesehatan dan ekonomi serentak.

Sementara, kondisi saat ini tidak lagi mencerminkan keadaan darurat sebagaimana klausul 'krisis' yang tertuang dalam regulasi.

"Dengan pertumbuhan ekonomi masih positif, inflasi relatif terjaga, dan pasar keuangan berfungsi meski penuh tekanan, melanjutkan burden sharing untuk membiayai program jangka panjang Asta Cita lebih terlihat sebagai perluasan mandat yang keluar dari norma, sehingga berpotensi menggerus disiplin fiskal serta kredibilitas kebijakan yang selama ini dijaga" katanya.

Rizal mengatakan penggunaan burden sharing kembali untuk menopang program-program prioritas Presiden Prabowo di bawah payung Asta Cita, mulai dari Koperasi Merah Putih, perumahan rakyat hingga ketahanan pangan, berarti fungsi BI bukan lagi sekadar lender of last resort, tetapi berubah menjadi semacam development financier.

Pergeseran ini menimbulkan risiko kredibilitas. Jika BI terlalu sering membeli SBN untuk mendanai program pemerintah, sambungnya, pasar bisa menilai bahwa independensi moneter terganggu.

"Dampaknya terhadap yield SBN berpotensi naik karena investor asing menuntut premi risiko lebih tinggi, rupiah bisa tertekan, dan persepsi fiscal dominance menguat," katanya.

Rizal mengatakan secara teknis, burden sharing memang bisa menjaga biaya utang pemerintah tetap rendah, tetapi konsekuensinya likuiditas perbankan akan semakin longgar, meningkatkan potensi inflasi ke depan. Jika pola ini terus dilanjutkan makan berpotensi adanya risiko moral hazard fiskal.

"Pemerintah bisa semakin ekspansif dengan asumsi BI siap membeli SBN kapan pun dibutuhkan, sehingga disiplin fiskal berpotensi tergerus. Selain itu, investor internasional dapat memandang Indonesia bergeser ke arah praktik fiscal monetization, mirip dengan negara-negara yang defisitnya ditutup oleh bank sentral seperti Turki atau beberapa negara Amerika Latin," katanya.

[Gambas:Photo CNN][3]

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan pergeseran wacana burden sharing dari penanganan pandemi menuju pembiayaan Asta Cita mengandung risiko kategoris.

"Mengubahnya menjadi alat pembiayaan program prioritas berpotensi merusak disiplin fiskal-moneter, menaikkan premi risiko, dan menguji kepercayaan investor terhadap independensi BI," katanya.

Ia mengatakan kerangka hukum sudah memberi pagar: pembelian SBN di pasar perdana bersifat krisis-only, dengan keputusan berbasis rekomendasi KSSK.

"Menggeser narasi ke menjamin Asta Cita akan dibaca pasar sebagai sinyal fiscal dominance. Ekspektasi inflasi bisa menguat, rupiah lebih sensitif saat sentimen global memburuk, dan yield SBN menuntut kompensasi risiko yang lebih tinggi," katanya.

Ia mengatakan agenda Asta Cita tetap bisa berjalan tanpa menukar kredibilitas moneter. Pemerintah dapat memaksimalkan pembiayaan kreatif seperti PPP (Public-Private Partnership).

"BI fokus pada operasi sekunder yang pro-market untuk menambat volatilitas, disertai sterilisasi yang disiplin agar basis uang tidak melebar permanen," katanya.

====[4]

Segudang Risiko Pergeseran Wacana: Kredibilitas hingga Kurs

--[5]

References

  1. ^ burden sharing (www.cnnindonesia.com)
  2. ^ Asta Cita (www.cnnindonesia.com)
  3. ^ [Gambas:Photo CNN] (cnnindonesia.com)
  4. ^ ==== (www.cnnindonesia.com)
  5. ^ -- (www.cnnindonesia.com)

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites
Masuk untuk mengikuti  

×
×
  • Create New...