bot 0 Posted Juli 17 Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik riuh isu lebih dari satu juta sarjana menganggur dan krisis lapangan kerja, Indonesia[1] juga menghadapi tantangan serius dalam kualitas sumber daya manusia (SDM[2]) dan produktivitas. Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019 menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat rendah, yakni urutan ke-74 dari 79 negara, atau berada di posisi ke-6 terendah secara global. Meskipun terdapat sedikit peningkatan skor PISA Indonesia pada tahun 2022 dalam literasi, matematika, dan sains, tren rata-rata hasil PISA Indonesia menunjukkan kecenderungan fluktuatif namun stagnan dalam rentang waktu 20 tahun terakhir. ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT Hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan yang terjadi masih belum konsisten atau cukup signifikan untuk mengubah posisi fundamental Indonesia dalam skala global. Berdasarkan peringkat kualitas pendidikan di Asia Tenggara, beberapa studi menempatkan Indonesia di posisi ke-4, tertinggal dari Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 2), dan Thailand (peringkat 3). Menurut OECD, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia juga masih rendah, dengan angka gross enrollment ratio sebesar 31,5%, di bawah Malaysia (36%) dan jauh di bawah Thailand (51,2%). Situasi ini berdampak langsung pada daya saing Indonesia yang diukur dari kualitas sumber dayanya. Menurut The World Economic Forum (WEF) tahun 2018, daya saing Indonesia menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei. Produktivitas juga rendah Selain masalah kualitas, tenaga kerja Indonesia juga punya masalah produktivitas. Bahkan, berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Pada 2023, produktivitas per pekerja Indonesia hanya sekitar US$14 per jam kerja, menempatkan Indonesia di peringkat kelima di kawasan ini. Negara-negara seperti Singapura (US$ 74), Brunei (US$49), Malaysia (US$ 26), dan Thailand (US$ 15) memiliki produktivitas tenaga kerja yang jauh lebih tinggi. Hal ini mempertegas bahwa kontribusi tenaga kerja Indonesia terhadap PDB per kapita masih rendah dibandingkan negara tetangga. Peringkat ini mencerminkan kelemahan dalam berbagai pilar daya saing, termasuk kualitas sumber daya manusia, yang sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan. Link and Match dengan realisasi 1,1 juta sarjana pengangguran Meski memiliki lebih dari 4.500 institusi pendidikan tinggi dan 8,6 juta mahasiswa, kualitas pendidikan universitas di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Berdasar QS World Ranking 2025, Universitas Indonesia menempati peringkat 206 dunia UGM di peringkat 239 dan ITB di peringkat 256. Sebagai perbandingan, National University of Singapore berada di peringkat 8 dunia, University of Malaya (Malaysia) di peringkat 65 dunia. Hanya 5 universitas Indonesia yang masuk 500 besar dunia. Ini menunjukkan bahwa reputasi akademik, kualitas riset, dan kolaborasi internasional masih perlu ditingkatkan secara signifikan. Di sisi lain, kualitas universitas di Indonesia juga sangat tidak seragam. Ketimpangan ini paling nyata antara universitas negeri terkemuka dan mayoritas universitas swasta. Hanya segelintir universitas negeri yang konsisten menempati klaster teratas dalam hal mutu pengajaran, riset, dan inovasi. Sebaliknya, sebagian besar universitas swasta masih tertinggal dalam berbagai aspek. Menurut data Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, total universitas swasta yang terakreditasi di Indonesia, hanya sekitar 7% yang mendapat peringkat A (Unggul) -- menunjukkan bahwa sebagian besar universitas swasta masih belum memenuhi standar mutu terbaik. Tak heran kalau kemudian meski sudah bergelar sarjana, banyak lulusan universitas tak terserap lapangan kerja. Meski faktor lambatnya pertumbuhan sektor industri turut berperan dalam berkurang lapangan kerja tersedia, namun sarjana yang dianggap kurang memenuhi standar industri ini sudah dikeluhkan antara lain oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam satu dekade terakhir. Pengusaha menilai janji program Link and Match yang digagas pemerintah dan merupakan kerjasama Kementerian Pendidikan dan Industri masih jauh dari realisasi. Program ini diluncurkan sejak 1993 di bawah Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Menaker Abdul Latief dengan gagasan merekrut tenaga pengajar dari praktisi, membuka program vokasi hingga magang kerja sektor industri. Lebih dari tiga dekade setelahnya sarjana tak siap pakai dalam industri jumlahnya justru terus bertambah. Data Kementerian Ketenagakerjaan pada Juli 2025 menunjukkan dari total 7,28 juta penganggur 1.010.652 diantaranya berstatus sarjana. Studi Bank Dunia 2010 mendapati hanya sekitar 19% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia yang dinilai benar-benar employable alias siap kerja, karena minimnya soft skills dan keterampilan praktis. Studi-studi lanjutan World Bank dan lembaga lain seperti McKinsey dan ADB juga mendukung temuan serupa -- bahwa sebagian besar lulusan Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi kualifikasi pasar kerja modern, terutama dalam sektor-sektor yang tumbuh pesat seperti teknologi informasi, manufaktur modern, dan jasa profesional. Kementerian Tenaga Kerja membandingkan angka sarjana menganggur dengan angka lulusan strata diploma yang tren penganggurannya dianggap lebih stabil dan cenderung menurun, dari 305.261 pada 2020 menjadi 170.527 pada 2024. Menaker Yassierli menilai perbandingan ini mengindikasikan pendidikan diploma yang lebih berorientasi pada keterampilan praktis lebih relevan dengan kebutuhan industri saat ini di Indonesia. Mayoritas tenaga kerja Indonesia (85%) masih berkutat pada lulusan SMA-SMK, yang menunjukkan pasar kerja Indonesia masih didominasi oleh pekerjaan berketerampilan rendah, sehingga lebih mudah menyerap lulusan pendidikan menengah. Hal ini mungkin terjadi karena pasar kerja Indonesia masih didominasi oleh sektor informal yang lebih mudah menyerap lulusan pendidikan dasar dan menengah. Sementara itu, pekerjaan formal yang membutuhkan kualifikasi sarjana tidak tumbuh secepat jumlah lulusannya, atau lulusannya tidak memiliki keterampilan yang sesuai untuk pekerjaan formal yang tersedia. Ini menunjukkan ketidakseimbangan fundamental antara suplai dan permintaan di segmen tenaga kerja terdidik. Jika berlanjut, situasi ini berbahaya untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Pertama, ketiadaan industri maju akan mengatrol jumlah pengangguran terdidik, terutama di kalangan lulusan perguruan tinggi. Kedua, pertumbuhan ekonomi bersifat tidak inklusif di mana banyak pekerja hanya mampu bertahan di sektor informal dengan upah rendah dan produktivitas minim. Dalam durasi panjang, akan terjadi stagnasi ekonomi karena kontribusi modal manusia terhadap pertumbuhan output per pekerja di Indonesia terus menurun, dimana tren sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, Indonesia akan makin kehilangan daya tarik untuk investasi industri terutama bidang teknologi maju, karena tak mampu menyediakan tenaga kerja unggul sebagaimana ditawarkan negara-negara tetangga. Jika tidak segera diatasi, Indonesia berisiko mengalami jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Industri informal tak mampu serap sarjana --[3] References^ Indonesia (www.cnnindonesia.com)^ SDM (www.cnnindonesia.com)^ -- (www.cnnindonesia.com)Sumber Share this post Link to post Share on other sites