Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia
Masuk untuk mengikuti  
bot

Ada Korupsi, Pungli di Balik Pengangguran 1 Juta Sarjana RI, Kok Bisa?

Recommended Posts

Jakarta, CNN Indonesia --

Setiap tahun, ribuan wisudawan bersorak gembira di gedung-gedung kampus[1], mengangkat toga[2] tinggi-tinggi merayakan kelulusan mereka.

Mereka berharap usai lulus kuliah bisa kerja di kantor impian, membawa pulang gaji,dan lambat laun membangun kehidupan yang lebih baik.

Namun kenyataan berkata lain. Mereka menghadapi kenyataan pahit; sulit mencari pekerjaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sulitnya sarjana mencari kerja setidaknya terlihat dari data yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker)Yassierli dalam Kajian Tengah Tahun (KTT) INDEF 2025 pada Rabu (2/7) lalu.

Data menunjukkan jumlah pengangguran Indonesia secara keseluruhan menyentuh 7,28 juta orang. Mirisnya, dari jumlah itu, sekitar 1,01 juta di antaranya sarjana atau dari golongan terdidik.

Selain lulusan S1, data Yassierli menunjukkan pengangguran terdiri dari 177 ribu diploma, 1,62 juta lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 2,03 juta lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 2,42 juta lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Banyaknya sarjana yang menganggur menimbulkan pertanyaan besar; mengapa lulusan sarjana yang seharusnya menjadi sumber daya manusia berkualitas justru kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dimana letak masalahnya?

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi mengatakan ada dua masalah yang menjadi penyebabnya.

Pertama, kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

"Kurikulum perguruan tinggi seringkali kurang relevan terhadap perkembangan dunia kerja terutama dalam bidang teknologi. Perguruan tinggi belum bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi pasar kerja," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Penyebab kedua adalah pertumbuhan sektor pekerja formal yang lambat.

Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, proporsi pekerja sektor formal hanya 40,60 persen dari total angkatan kerja, sedangkan 59,40 persen sisanya bekerja di sektor informal.

Dibandingkan Februari 2024, persentase penduduk bekerja pada sektor formal turun 0,23 persen.

Sejumlah pencari kerja mengunjungi pameran bursa kerja Jakarta Job Fair di Tamini Square, Jakarta Timur, Rabu (2/10/2024). (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)Sejumlah pencari kerja mengunjungi pameran bursa kerja Jakarta Job Fair di Tamini Square, Jakarta Timur, Rabu (2/10/2024). (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)

Tadjudin mengatakan minimnya pekerjaan formal terjadi karena sedikitnya investasi yang masuk ke Tanah Air. Data Kementerian Investasi mencatat total investasi baik asing maupun domestik yang masuk ke Indonesia sebanyak Rp1.714,2 triliun pada 2024.

Angka tersebut sebenarnya melebihi target pemerintah sebesar Rp1.650 triliun. Namun, Tadjudin menilai jumlah tersebut belum cukup untuk membuka lapangan kerja yang bisa menampung para sarjana.

Pasalnya, investasi justru banyak masuk ke sektor padat modal yang minim penyerapan tenaga kerjanya.

Menurutnya, investor enggan masuk ke Indonesia karena rumitnya birokrasi, ketidakpastian hukum, serta sumber daya manusia yang tidak sesuai dengan kemauan mereka.

Ia menyarankan pemerintah dalam jangka pendek harus segera menyiapkan banyak lapangan kerja. Sementara untuk jangka panjang, ia menyarankan pemerintah mengevaluasi sistem pendidikan.

"Sistem pendidikan perguruan tinggi harus disesuaikan dengan pasar kerja," katanya.

Senada, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan 1 juta sarjana menganggur disebabkan skill mismatch.

Hal ini terjadi karena kurikulum kampus masih terlalu fokus pada pengetahuan teoritis, tapi minim penguasaan praktis.

Penyebab lainnya adalah keterbatasan lapangan kerja untuk lulusan S1. Apalagi investasi asing dan domestik sebagian besar masuk pada sektor padat modal seperti pertambangan, infrastruktur, dan energi yang meskipun menghasilkan output ekonomi besar, tetapi kontribusi serapan tenaga kerja berpendidikan tingginya kecil.

Ia mencontohkan masuknya investasi smelter nikel di Sulawesi Tenggara yang hanya membuka lapangan kerja bagi sekitar 1.500 orang per pabrik di mana mayoritas adalah operator mesin dan teknisi.

Sedangkan posisi analis, engineer, dan manajerial umumnya diisi oleh tenaga kerja asing yang didatangkan oleh investor untuk menjamin standar produksi global.

Sedangkan di sektor digital, meski e-commerce dan fintech tumbuh pesat, struktur perusahaan digital Indonesia masih relatif ramping dan efisien dalam penggunaan SDM.

Satu unicorn katanya rata-rata hanya mempekerjakan 500-6.000 orang.

"Artinya, investasi digital padat karya terdidik belum memiliki skala masif seperti harapan pemerintah," katanya.

Untuk mengatasi masalah itu, ia menyarankan empat solusi.

Pertama, pemerintah harus merevitalisasi sistem pendidikan agar benar-benar industry-driven curriculum. Kampus dan industri katanya harus duduk bersama merumuskan kompetensi yang dibutuhkan 5-10 tahun ke depan.

"Kedua, pemerintah perlu menciptakan insentif fiskal bagi perusahaan yang membuka lowongan untuk fresh graduate. Skema seperti graduate employment subsidy di Australia di mana perusahaan mendapat pengurangan pajak ketika merekrut lulusan baru bisa diadopsi," katanya.

Ketiga, arah investasi perlu dikawal agar tidak hanya padat modal, melainkan padat karya terdidik.

Achmad mengatakan investasi di sektor kesehatan, biofarmasi, riset pangan, teknologi informasi, dan industri kreatif memiliki potensi serapan sarjana lebih tinggi dibanding investasi di sektor komoditas primer.

Keempat, Indonesia perlu mempersiapkan program ekspor talenta, seperti Vietnam dan Filipina yang telah sukses menempatkan ribuan perawat, programmer, dan engineer di Jepang, Eropa, dan Timur Tengah.

"Indonesia yang memiliki keunggulan demografi justru tertinggal karena belum memiliki skema penempatan dan perlindungan tenaga kerja terdidik di luar negeri secara masif," katanya.

 

Sementara itu pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar melihat ada dua sumber masalah di balik fenomena 1 juta sarjana menganggur.

Pertama, masalah di sisi permintaan tenaga kerja.

Dia melihat lesunya ekonomi membuat daya serap perusahaan terhadap tenaga kerja menurun. Pada saat bersamaan, jumlah pencari kerja terus bertambah.

"Ini tugas pemerintah bagaimana lapangan-lapangan kerja dibuka. Kalau kita punya orang-orang SDM yang jago juga, kalau lapangan kerjanya enggak dibuka, tidak bisa," kata Timboel.

Dia berpendapat pemerintah harus segera membenahi iklim usaha agar investasi mengalir masuk. Jika hal itu terjadi, lapangan kerja akan terbuka.

Persoalannya, pemerintah belum bisa menciptakan iklim kondusif bagi para investor. Timboel menyoroti korupsi dan pungli yang membebani para pemodal.

Faktor penghambat lainnya adalah minim insentif bagi investor. Dia menyarankan pemerintah menyediakan lahan dan aset gratis untuk menarik investor. Jadi, mereka tak perlu terbebani membeli lahan untuk berbisnis di Indonesia.

"Hapus premanisme, hapus pungli. Mau masuk sini, kita fasilitasi. Harus berani. Vietnam itu negaranya ikut ngurus begitu," ujarnya.

[Gambas:Photo CNN][3]

Sumber masalah kedua adalah perguruan tinggi yang tidak mampu mencetak lulusan siap kerja. Dia melihat ada ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dengan pendidikan di perguruan tinggi.

Timboel mengatakan banyak sarjana yang kemampuan dasar operasi Microsoft Word dan Excel saja tidak bisa. Belum lagi menyoal kemampuan-kemampuan tingkat lanjut seperti bahasa asing dan teknologi.

Untuk jangka panjang, dia menyarankan pemerintah mengkaji ulang program vokasi di perguruan tinggi. Sementara itu, untuk jangka pendek pemerintah bisa membenahi program Kartu Prakerja.

Dia mengusulkan penambahan anggaran untuk program ini. Biaya pelatihan Rp3,5 juta per orang dinilai belum bisa membekali kemampuan yang diminati industri saat ini.

Selain penambahan anggaran, Prakerja perlu diselaraskan dengan perguruan tinggi. Dia menyarankan mahasiswa-mahasiswa semester akhir diikutkan ke program Prakerja sehingga saat lulus punya modal kemampuan tambahan.

"Kartu Prakerja harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi setelah ada masukan dari Komite Vokasi tentang apa pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan sehingga dia bisa menjawab kebutuhan industri," kata Timboel.

====[4]

Penurunan daya serap tenaga kerja perusahaan

--[5]

References

  1. ^ kampus (www.cnnindonesia.com)
  2. ^ toga (www.cnnindonesia.com)
  3. ^ [Gambas:Photo CNN] (cnnindonesia.com)
  4. ^ ==== (www.cnnindonesia.com)
  5. ^ -- (www.cnnindonesia.com)

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites
Masuk untuk mengikuti  

×
×
  • Create New...