bot 0 Posted Juli 9 Jakarta, CNN Indonesia -- Apit terbangun karena dering notifikasi ponselnya di suatu pagi. Matanya yang masih berat melirik layar ponsel[1]. Ratusan pesan masuk ke akun kafe miliknya. Pesan masuk setelah sehari sebelumnya, Abraham and Smith, kafe milik Apit mengumumkan lowongan kerja via Instagram dan TikTok; mencari dua perempuan untuk mengisi posisi kasir dan barista. ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT Tak sampai 24 jam, akun media sosial kafe spesialis burger di Bandung itu meledak. Postingan lowongan di TikTok dilihat ratusan ribu orang. Hampir 1.000 pesan masuk lewat direct message (DM), mulai dari menanyakan lowongan hingga kirim CV. Apit tak menyangka bisnis kecil-kecilannya begitu diminati para pencari kerja. Dan yang lebih mengejutkan, saat dia cek pelamar secara singkat, ternyata banyak sarjana yang ikut antre melamar. Mereka jebolan kampus ternama, seperti Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). "Sampai sekarang aja DM yang belum dibaca masih 900-an. Masih nambah terus sampai sekarang. Ada, ada sarjana," kata Apit kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/7). Pemilik nama lengkap Hafizd Mukti Ahmad itu akhirnya hanya mampu mewawancarai sekitar 30 orang pelamar, yang lima di antaranya adalah lulusan S1. Dia memilih calon pelamar yang tinggal di sekitar Bandung agar dekat dengan kafe. Saat mewawancarai pelamar, Apit terkejut dengan cerita para sarjana. Mereka terpaksa melamar di posisi kasir dan barista karena butuh. "Rata-rata mereka butuh aja. Katanya kalau ada yang lebih baik sih, mereka pilih yang lain. Anak-anak ini cuma enggak punya kesempatan aja karena lowongan enggak ada," ucap Apit. Meski begitu, Apit akhirnya tidak merekrut para sarjana. Apit mengaku tak tega mempekerjakan para sarjana dengan gaji yang lebih rendah dari biaya kuliah satu semester. Para pelamar berpendidikan S1 itu mengharapkan gaji Rp5 juta hingga Rp6 juta. Kafe burger Apit baru bisa memberikan gaji pokok sekitar Rp3 juta. Pendapatan karyawan kafe itu bisa mencapai Rp4 juta per bulan bila sudah ditambah biaya layanan dan tip. Tak hanya Apit, kisah serupa juga diceritakan Mugni Fikri Alkamil, seorang pengusaha pengelolaan properti. Setahun ke belakang, Renjana Enterprise-perusahaan Mugni-membuka lowongan. Mereka butuh karyawan baru karena sedang ekspansi bisnis. Renjana mengelola guest house hingga hunian di Bandung, Yogyakarta, Makassar, Bulukumba, dan Ubud. Dia menyebut hampir 100 orang mengajukan lamaran untuk lima posisi manajemen. Itu belum termasuk pelamar-pelamar di posisi lain, seperti sopir dan tukang masak. Padahal, Mugni hanya mengumumkan lowongan lewat kanal-kanal media sosial pribadinya. Mugni bercerita sebagian pelamar berlatar pendidikan S1. Mereka tak masalah mendapat posisi nonmanajemen dan mendapat gaji pokok sekitar Rp1,8 juta hingga Rp2 juta per bulan. "Staf masak di rumah itu sarjana pendidikan Bahasa Inggris dari Yogyakarta. Jadi kita punya dapur pusat yang supply makanan ke guest house Renjana," ucap Mugni. "Bahkan driver pun juga kami nyarinya dari Threads dan sarjana juga yang daftar, sarjana Universitas Negeri Yogyakarta jurusan pendidikan alternatif," katanya. Mugni berkata tidak membatasi latar pendidikan ataupun usia saat membuka lowongan. Dia menilai calon pekerja dari kemampuan dan komitmen bekerja sama untuk jangka panjang. Mondar-mandir melamar Yerremia Yohanes yang menempuh pendidikan tata boga di Politeknik Pariwisata NHI Bandung mengatakan lulusan perguruan tinggi dan politeknik sepertinya saat ini memang tidak punya pilihan untuk bekerja dengan hasil yang baik. Ia bercerita sudah berusaha mencari pekerjaan dengan melamar ke beberapa hotel besar di Bandung. Bahkan, upaya ia lakukan sebelum ia menyelesaikan pendidikannya. Dia sudah sampai tahap wawancara saat melamar di salah satu hotel besar di Bandung. Akan tetapi, nasib belum mengantarnya diterima bekerja di tempat itu. "Iya, aku sempat cobain masuk walking interview gitu. Emang susah, kalau emang enggak ada kenal orang dalam tuh," ujar Yerremia. Keadaan tambah rumit bagi Yerremia karena dia tak bisa ikut wisuda Mei ini karena faktor ekonomi. Ada tunggakan yang harus dia lunasi sebelum bisa mendaftar wisuda dan mendapatkan ijazah. Di tengah kekalutan itu, dia diperkenalkan oleh rekannya ke Apit. Apit pun merekrutnya untuk bekerja membantu di dapur. Tak punya pilihan, Yerremia pun memilih menerima pekerjaan itu walau dengan upah beda tipis dengan UMK Bandung. Yerremia sadar memang bekerja di kafe bukan posisi ideal bagi lulusan NHI. Namun, dia punya impian untuk bekerja di restoran besar suatu hari nanti. Untuk saat ini, dia ingin fokus menata karir di tempat Apit. Yerremia menilai kesempatan kerja itu sekalian menjadi wadah baginya menguji hasil belajarnya. "Jadi aku coba membangun dulu Abraham and Smith, biar aku punya CV yang bagus. Siapa tahu entar keluar dari sini, bisa keterima di tempat yang lebih gede dan gaji lebih gede," ucap Yerremia. Cerita Apit dan Yeremia sejatinya bukan isapan jempol. Keberadaan pengangguran bergelar sarjana sejatinya sudah diakui pemerintah. Data yang dipaparkan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli beberapa waktu lalu menunjukkan ada 7,28 juta orang menganggur. Dari jumlah itu, sekitar 1,01 juta di antaranya lulusan S1. Selain itu, pengganguran terdiri dari 177 ribu diploma, 1,62 juta lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 2,03 juta lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 2,42 juta lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 juga mencatat ada 7,28 juta orang menganggur Februari 2025. Namun, komposisinya berbeda. BPS menyebut sekitar 760 ribu pengangguran adalah lulusan diploma IV, S1, S2, dan S3. Sekitar 174 ribu orang pengangguran adalah lulusan diploma I/II/III. Catatan lainnya dari BPS adalah 2,6 juta orang pengangguran lulusan SD, 1,5 juta orang lulusan SMA, 1,3 juta orang lulusan SMP, dan 935 ribu orang lulusan SMK. Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar melihat ada dua sumber masalah di balik fenomena 1 juta sarjana menganggur. Pertama, masalah di sisi permintaan tenaga kerja. Dia melihat lesunya ekonomi membuat daya serap perusahaan terhadap tenaga kerja menurun. Pada saat bersamaan, jumlah pencari kerja terus bertambah. "Ini tugas pemerintah bagaimana lapangan-lapangan kerja dibuka. Kalau kita punya orang-orang SDM yang jago juga, kalau lapangan kerjanya enggak dibuka, tidak bisa," kata Timboel. Dia berpendapat pemerintah harus segera membenahi iklim usaha agar investasi mengalir masuk. Jika hal itu terjadi, lapangan kerja akan terbuka. Persoalannya, pemerintah belum bisa menciptakan iklim kondusif bagi para investor. Timboel menyoroti korupsi dan pungli yang membebani para pemodal. Faktor penghambat lainnya adalah minim insentif bagi investor. Dia menyarankan pemerintah menyediakan lahan dan aset gratis untuk menarik investor. Jadi, mereka tak perlu terbebani membeli lahan untuk berbisnis di Indonesia. [Gambas:Photo CNN][2] "Hapus premanisme, hapus pungli. Mau masuk sini, kita fasilitasi. Harus berani. Vietnam itu negaranya ikut ngurus begitu," ujarnya. Sumber masalah kedua adalah perguruan tinggi yang tidak mampu mencetak lulusan siap kerja. Dia melihat ada ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dengan pendidikan di perguruan tinggi. Timboel mengatakan banyak sarjana yang kemampuan dasar operasi Microsoft Word dan Excel saja tidak bisa. Belum lagi menyoal kemampuan-kemampuan tingkat lanjut seperti bahasa asing dan teknologi. Untuk jangka panjang, dia menyarankan pemerintah mengkaji ulang program vokasi di perguruan tinggi. Sementara itu, untuk jangka pendek pemerintah bisa membenahi program Kartu Prakerja. Dia mengusulkan penambahan anggaran untuk program ini. Biaya pelatihan Rp3,5 juta per orang dinilai belum bisa membekali kemampuan yang diminati industri saat ini. Selain penambahan anggaran, Prakerja perlu diselaraskan dengan perguruan tinggi. Dia menyarankan mahasiswa-mahasiswa semester akhir diikutkan ke program Prakerja sehingga saat lulus punya modal kemampuan tambahan. "Kartu Prakerja harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi setelah ada masukan dari Komite Vokasi tentang apa pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan sehingga dia bisa menjawab kebutuhan industri," kata Timboel. ====[3] Kegagalan Perguruan Tinggi dan Lemahnya Permintaan Tenaga Kerja --[4] References^ ponsel (www.cnnindonesia.com)^ [Gambas:Photo CNN] (cnnindonesia.com)^ ==== (www.cnnindonesia.com)^ -- (www.cnnindonesia.com)Sumber Share this post Link to post Share on other sites