Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Lebay

PPATK : Tak Ada Istilah Blacklist dalam Money Laundering

Recommended Posts

PERBANKAN

Jum'at, 23 Agustus 2013 18:19 wib

Rezkiana Nisaputra - Okezone

veAGNB5sEg.jpgDok PPATK.

JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membantah adanya pemberitaan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam daftar buku hitam terkait dengan money laundering (pencucian uang).

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas pernyataan Head of Compliance for Actimize Europe, Trevor Barrit yang menuturkan, Indonesia termasuk negara yang gagal untuk memenuhi standar Internasional anti-money laundering.

Menanggapi pernyataan tersebut PPATK menjelaskan, istilah “blacklist” atau daftar hitam atau buku hitam negara/jurisdiksi pencucian uang tidak dikenal dalam dokumen resmi Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering.

Penempatan Indonesia dalam kategori tersebut bukan karena kurang tanggapnya Indonesia dalam implementasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, akan tetapi karena Indonesia dinilai masih memiliki defisiensi atau kekurangan dalam pemenuhan rekomendasi khusus (special recommendation) FATF, mengenai upaya pemberantasan pendanaan terorisme, khususnya implementasi ketentuan freezing without delay atau pembekuan seketika terhadap aset orang atau entitas yang namanya tercantum dalam resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267.

PPATK menilai, pernyataan yang keliru dari Trevor sebagai narasumber saat acara media discussion bertemakan anti money laundering di Hotel Ritz Carlton Jakarta, Rabu 21/8/2013 lalu yang menyebutkan, “Ini tentunya pihak asing sulit Untuk masuk ke Indonesia. Ini kan karena reputasi buruk tersebut”.

 

Pernyataan Trevor tersebut, menurutnya berpotensi menyesatkan masyarakat seolah-olah Indonesia tidak memiliki komitmen dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Faktanya, Indonesia terus memperkuat instrumen hukum terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, hal ini dibuktikan dengan penerapan undang-undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam berbagai kasus yang mengemuka di masyarakat.

Narasumber yang bernama Trevor saat acara media diskusi dengan pers tersebut, juga menyebutkan, bahwa Indonesia masih masuk dalam daftar karena belum patuh terhadap aturan pelanggaran (fraud) baik di perbankan maupun segala sesuatu yang berurusan dengan uang. Kemudian pula disampaikan bahwa, Bank Sentral maupun institusi yang mengurus anti pencucian uang ini mau patuh terhadap standar dunia tersebut. 

PPATK menjelaskan, pernyataan Trevot itu secara tanpa dasar juga memberikan pernyataan yang menyesatkan, karena tidak sesuai dengan fakta di mana industri perbankan dan non bank di bawah pengawasan regulator (Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan PPATK) sudah mematuhi dan menerapkan seluruh rekomendasi FATF (standar internasional) terkait pencucian uang.

Pemenuhan standar internasional itu  tercermin antara lain mulai dari penerapan ketentuan yang mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) menerapkan Know Your Customer/KYC (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa), melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai di atas Rp500 juta,  serta ketentuan baru yang mewajibkan PJK melaporkan transfer dana dari dan keluar wilayah Indonesia tanpa batas nilai, serta menyerahkan Hasil Analisis dan Hasil Pemeriksaan PPATK kepada Penyidik.

Bahkan UU TPPU sudah jauh lebih maju dibandingkan negara – negara lain dengan memberikan kewenangan kepada PJK untuk melakukan penundaan transaksi atas insiatif sendiri. Kewenangan seperti ini tidak dimiliki oleh negara lain dalam peraturan perundang-undangannya.

Terkait defisiensi dalam pemenuhan rekomendasi khusus FATF mengenai pendanaan terorisme, Indonesia juga telah mengesahkan Undang-undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada tanggal 13 Maret 2013. UU ini dengan tegas mengkriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme yang meliputi:

Perbuatan menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme, organisasi teroris atau teroris individu.

Selain dengan hal yang telah kami kemukakan di atas, narasumber sebagai pihak yang menawarkan produk komersial tidak sepatutnya memberikan pernyataan yang tidak berdasarkan dan tidak sesuai dengan fakta serta di luar kapasitas narasumber yang digunakan sebagai cara untuk memasarkan produknya kepada industri keuangan di Indonesia.

 

(rhs)

Berita Selengkapnya Klik di Sini [h=4]Berita Terkait: Uang Palsu[/h]

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...