Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Menyelamatkan Pemberantasan Korupsi

Recommended Posts

Selalu tak mudah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meyakinkan semua pihak bahwa penetapan seorang pengurus atau pimpinan partai politik sebagai tersangka sepenuhnya karena logika

 

hukum yang steril dari aneka intervensi nonhukum, entah itu berupa tekanan opini atau gerakan massa, apalagi intervensi pihak yang dianggap memiliki kekuatan atau kekuasaan besar.

 

Tentu wajar saja apabila seorang tokoh politik yang kebetulan ditetapkan sebagai tersangka melontarkan berbagai bantahan soal dugaan keterlibatannya dalam suatu kasus korupsi yang tengah disidik KPK. Itu hal lumrah. Justru terasa aneh kalau seorang politisi ternama tiba-tiba dengan lugu dan terbuka mengakui bahwa dirinya terlibat aktif dalam suatu kejahatan korupsi.

 

Ini seperti mengingkari ‘kodrat’ politisi itu sendiri, yang acapkali dicitrakan sebagai kumpulan orang yang penuh akal.

 

Jadi, lumrah belaka kalau Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq membantah sangkaan KPK bahwa dirinya terlibat dalam dugaan permufakatan suap-menyuap dengan menerima janji sejumlah imbalan atau uang terkait dengan impor daging sapi. Sama wajarnya ketika Ketua Umum Partai

 

Demokrat Anas Urbaningrum dengan sangat yakin menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang.

 

Johan Budi SP, Juru Bicara KPK, berulang kali memastikan tidak ada intervensi dari pihak manapun terkait dengan penetapan seseorang sebagai tersangka. Sejauh ini, setiap penyidikan kasus korupsi yang dilakukan KPK dan akhirnya disidangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta selalu berujung pada

 

vonis bersalah terhadap terdakwa. Belum ada preseden pemberkasan kasus korupsi oleh KPK berakhir antiklimaks di pengadilan, alias dimentahkan majelis hakim Pengadilan Tipikor.

 

Perlu segera dicatat di sini bahwa KPK, berdasarkan undang-undang yang mengatur lembaga pemberantasan korupsi itu, tidak memiliki instrumen yang lazim disebut SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan, yang notabene dimiliki ke polisian dan kejaksaan. Implikasinya, begitu KPK meningkatkan status penyelidikan suatu kasus menjadi berstatus penyidikan, perkara itu tidak bisa disetop

 

di tengah jalan, alias mesti berujung di Pengadilan Tipikor. Tinggal majelis hakim yang akan mengambil putusan berdasarkan fakta yang berkembang dalam persidangan.

 

Karena ketiadaan instrumen SP3 itulah, seorang pimpinan KPK pernah mengatakan, lembaga tersebut tidak akan menetapkan seorang sebagai tersangka apabila bukti-bukti yang tersedia tidak cukup terang benderang. Dengan kata lain, kalau alat bukti yang ada relatif lemah, samar, sumir atau masih abu-abu, KPK lebih memilih untuk menunda peningkatan status penyelidikan menjadi penyidikan, sampai akhirnya

 

memang fakta-fakta yang berkembang dan berhasil dihimpun mampu ‘memperjelas’ alat bukti tersebut. Pada titik ini, dengan yakin KPK akan menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

Itulah barangkali mengapa acapkali kasus dugaan korupsi yang ditangani KPK tidak kunjung memunculkan seorang tersangka, bahkan bisa dalam kurun tahunan. Bahkan, ketika media massa secara demonstratif

 

menyodorkan berbagai serpihan ‘bukti’ terkait suatu kasus dugaan korupsi yang tengah menjadi sorotan luas misalnya, KPK memilih bergeming, tak terpengaruh. Para pimpinan KPK tampak konsisten menolak

 

tekanan opini yang seolah-olah solid sekalipun sebagai referensi untuk menetapkan seorang sebagai tersangka.

 

SERANGAN BALIK

 

Di antara ratusan tersangka yang ditetapkan KPK sejak lembaga ini berdiri pada 2003, tersangka dari kalangan politisi dikenal paling suka menyangkal bahkan ketika dalam persidangan sekalipun. Angelina

 

Sondakh adalah salah satu contoh. Mantan Putri Indonesia yang juga eks politisi Partai Demokrat ini tak pernah mengakui kasus yang didakwakan, hingga majelis hakim memvonisnya bersalah sekalipun.

 

Lagi-lagi wajar bagi seorang tersangka atau terdakwa kasus korupsi menyangkal, mengelak atau ngeles. Tersangka memang punya hak ingkar. Cuma, karena politisi berasal dari suatu parpol, biasanya kolega atau loyalis sang politisi yang sudah menjadi tersangka itu ikutikutan ‘panas’. Maka meluncurlah berbagai

 

tudingan yang dialamatkan ke KPK.

 

Tapi ketika media massa berusaha meminta kejelasan ihwal tudingan itu, para penuding tersebut juga kesulitan memperjelas tudingannya. Kalau yakin memiliki bukti memadai soal adanya konspirasi dan intervensi misalnya, kenapa tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum untuk mengusutnya? Bukankah

 

itu lebih fair daripada ‘berteriak-teriak’ tanpa lampiran bukti?

 

KPK memang akan terus dirongrong, dimusuhi dan diserang balik oleh mereka yang kebetulan merasa dizalimi lembaga tersebut. Daftar musuh KPK akan makin panjang tatkala sebagian politisi tetap

 

gemar korupsi, dan satu per satu berhasil dipaksa KPK untuk mempertanggungjawabkan tabiat buruknya itu di meja hijau. Dalam konteks itu, menyelamatkan KPK dari upaya delegitimasi menemukan urgensinya.

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...