Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

SALYADI SAPUTRA: Pasar Obligasi Butuh Relaksasi

Recommended Posts

JAKARTA: Porsi obligasi korporasi di Indonesia tercatat tidak lebih dari 3% dibandingkan dengan total pro­­­duk domestik bruto (PDB).

 

Me­­nga­­mati fakta tersebut, peluang me­­­ngembangkan obligasi korporasi di Indonesia terbuka lebar.

 

Bisnis berkesempatan mewawancarai Di­­­rek­­tur Pemeringkatan PT Peme­­ring­­kat Efek Indonesia Salyadi Sa­­­putra. Berikut petikannya.

 

Bagaimana kondisi pasar obligasi tahun ini?

 

Pada tahun ini kondisi pasar utang bi­­sa dibilang luar biasa.

 

Sampai akhir 2012, kami proyeksikan penerbit­an obligasi korporasi seluruhnya akan me­­­nem­­bus angka Rp60 triliun

 

Bagaimana perkembangan pener­­bit­an obligasi korporasi secara sek­­to­­ral?

 

Sepanjang tahun ini penerbitan obligasi tidak banyak variasi. Multifinance dan perbankan masih mendominasi.

 

Penerbitan obligasi korporasi di In­­­donesia masih terbilang minim di­­bandingkan dengan negara tetangga, apa pe­­­nyebabnya?

 

Masih minimnya penerbitan obligasi ter­­­jadi karena banyak faktor.

 

Kalau di­­ban­­­­­­­­dingkan dengan Malaysia, portofolio yang berkembang itu sukuk, cenderung struc­­ture finance [struktur keuangan] yang ada auto project finance, ada ga­­ran­­si yang mendukung se­­demikian rupa agar obligasinya aman.

 

Structure fi­­nance juga sa­­­ngat erat hu­­bungan­­nya de­­­ngan law en­­­for­­cement [pene­gak­­an hukum] dan legal binding [hukum yang mengikat].

 

Kalau investor sudah ragu dengan struktur dan legalitasnya, maka diyakini pasarnya sulit berkembang. Di In­­do­­ne­­sia structure fi­­nan­­ce seperti itu ti­­dak ada, bentuknya konvensional saja.

 

Porsi investor domestik pada obligasi korporasi jauh lebih besar di­­ban­­dingkan asing, apa dampaknya ter­­hadap pasar obligasi korporasi?  

 

Dari segi basis investor obligasi, memang investor domestik lebih ba­nyak, tidak seperti di pasar saham yang lebih banyak asing. Jadinya size is­­­suance juga sedikit.

 

Kalau bicara 5 triliun perusahaan ragu akan terserap atau ti­­­dak.

 

Penerbitan pun jadi tidak kompetitif, ha­­rus memenuhi ekspektasi investor de­­­ngan yield tinggi tapi aman, sehingga akhir­nya hanya per­­usahaan dengan pe­­ring­­kat single A saja yang bisa menerbit­kan obligasi.

 

Padahal mungkin kebutuhan perusahaan dengan ra­ting BBB juga cukup ba­­nyak, investor juga mungkin ada juga yang berminat menyimpan obligasi per­­usahaan dengan ra­­ting di bawah single A.

 

Secara konkret, struktur apa yang harus dibenahi oleh regulator untuk menggairahkan pasar obligasi di In­­do­­nesia?

 

Dari sisi regulasi, mungkin syarat perusahaan yang boleh menerbitkan obligasi bisa diturunkan, dari semula harus peringkat single A, turun menjadi BBB, mungkin akan ada pengaruhnya terhadap pasar obligasi.

 

Selain itu, perlu perbaikan law enforcement secara umum, misalnya hubungan antara debitur dan kreditur.

 

Di Indonesia banyak juga kasus di pengadilan yang memenangkan debitur padahal di atas kerjas seharusnya debitur yang memiliki kesalahan, atau kasus semacamnya.

 

Intinya kita harus kembangkan ins­­trumen utang yang baru, bukan hanya kon­­vensional, misalnya KIK EBA, sukuk dan sejenisnya.

 

Bagaimana pembenahan struktur dari sisi investor?

 

Dari segi investor mungkin perlu berubah pola appetite-nya dari yang cuma untuk tenor obligasi 5 tahun, bisa menjadi 10 atau bahkan 15 tahun juga akan membantu permodalan.

 

Pasalnya, semakin panjang jangka waktu jatuh tempo pembayaran, maka perusahaan akan semakin nyaman untuk memenuhi kewajiban membayarnya dan secara peringkat akan menjadi lebih bagus.  (ra)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...