Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

EDITORIAL BISNIS: Menata Kebijakan Energi

Recommended Posts

Ada dua hal menarik di bidang energi yang patut dicermati dalam beberapa hari terakhir.

 

Pertama, penemuan inefisiensi sebesar Rp37,6 triliun di Perusahaan Listrik Negara (PLN), kedua adalah pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi.

 

 

Kedua hal di atas secara langsung terkait dengan manajemen energi di negeri ini yang masih amburadul. Inefisiensi di PLN tidak terlepas dari manajemen energi yang salah dari pemerintah selama ini.

 

Kita mengungkit kealpaan pemerintah dalam mengelola kebutuhan gas secara optimal. Pertanyaan yang mesti diajukan, mengapa pemerintah tidak bisa mengantisipasi lonjakan biaya atas peng gunaan sumber energi primer listrik yang berfokus pada minyak yang harganya terus merangkak naik?

 

Inefisiensi yang terjadi di PLN merupakan salah satu contoh kebocoran yang terjadi secara masif di sektor energi.

 

Berbagai kebocoran itu membawa kita pada gugatan pada berbagai hal di bidang energi nasional seperti soal kontrak migas yang merugikan, besaran royalti yang mesti diterima negara dari kegiatan eksplorasi, kepemilikan mayoritas perusahaan yang mengelola pertambangan strategis seperti emas, keharusan membangun smelter dalam negeri, pengembalian lahan konsesi yang tidak ditambang dan keberanian untuk mengalihkan pemakaian energi yang mahal seperti minyak bumi ke energi yang murah dan ramah lingkungan.

 

Dalam upaya pembenahannya, kita patut berapresiasi atas keberanian Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meng akhiri eksistensi BP Migas yang merupakan salah satu sumber persoalan di bidang energi seperti yang dikeluhkan selama ini.

 

Akarnya bisa dirunut pada penurunan penemuan dan produksi sumur-sumur migas dengan diberlakukannya UU Migas No. 22/2001. Ada dua catatan terkait dengan undang-undang tersebut.

 

Pertama, sistem perminyakan nasional menjadi sangat tidak efisien karena diubahnya pola kemitraan dengan pihak investor dari pola business to

business (B to B) menjadi pola B to G (government) yang dibarengi dengan lembaga baru bernama BP Migas.

 

Perubahan ini membuat proses investasi migas menjadi sangat panjang dan

birokratis. Kalau dalam pola lama B to B, investor migas hanya diurus oleh 40 orang di Pertamina, maka saat ini jumlah karyawan BP Migas bisa

mencapai 1.000 orang.

 

Kedua, kebijakan fiskal migas yang diciptakan berdasarkan Pasal 31 UU Migas No 22/2001 bertentangan dengan praktik yang umum di industri perminyakan. Berdasarkan UU ini, investor diwajibkan membayar berbagai macam pajak dan pungutan meskipun belum menemukan minyak.

 

Umumnya kewajiban membayar pajak baru diterapkan jika sudah menemukan cadangan dan berproduksi karena sifat industri migas yang sangat berisiko. Regulasi ini yang sering menurunkan gairah para investor dalam melakukan eksplorasi.

 

Semoga berbagai langkah dan pemikiran terkait efisiensi di PLN dan keputusan soal BP Migas men jadi awal yang baik bagi pembenahan di sektor energi kita.

 

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...