Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

UU MIGAS: BP Migas tolak jadi BUMN

Recommended Posts

JAKARTA—Di tengah menghangatnya kembali rencana revisi UU Migas, BP Migas kembali menegaskan pihaknya menolak jika diubah statusnya dari saat ini Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

 

 

Deputi Operasi BP Migas Gde Pradnyana mengatakan perbaikan tata kelola BP Migas memang merupakan salah satu dari lima masukan yang diberikan BP Migas kepada DPR terkait revisi UU Migas No.22 Tahun 2001.

 

 

“Kalau jadi BUMN kelihatannya sulit karena kalau badan usaha artinya kita harus mencari profit, ini bertentangan dengan konsep bagi hasil [production sharing contract/PSC] yang selama ini dipakai. Kelihatannya BP Migas ngga cocok dengan konsep badan usaha yang malah jadi profit sharing,” ujarnya ketika ditemui di kantornya, Kamis (2/8/2012).

 

Menurut Gde, revisi UU Migas sepenuhnya merupakan kewenangan DPR dan pemerintah. BP Migas, lanjutnya, hanya memberi masukan kepada DPR berupa lima pilar. Pertama adalah perbaikan tata kelola BP Migas.

 

 

“Kami usulkan ada dewan pengawas supaya memudahkan operasional sehari-hari. Misalnya, Kepala BP Migas mau cuti, lantas ke mana minta izinnya?,” ujar Gde.

 

 

Masukan kedua adalah memaksimalkan partisipasi daerah dalam kegiatan usaha hulu migas. Menurut Gde, pada UU Migas yang sekarang tersirat bahwa keterlibatan daerah dalam pengelolaan blok migas yang ada di daerahnya hanya sebatas kepemilikan hak partisipasi (Participating Interest/PI) sebesar 10%.

 

 

“Di UU yang sekarang, hanya ada PI saja 10%. Mestinya tidak hanya kepemilikan saham, tapi juga pemberdayaan masyarakat, alokasi produksi, dan pemberdayaan BUMD,” ujarnya.

 

Masukan ketiga adalah adanya lex specialist atau kepastian pengaturan industri hulu migas mulai dari rezim fiskal, perizinan, dan diperlakukan sebagai objek vital nasional. Menurut Gde, sebanyak 52% kendala eksplorasi migas terjadi karena masalah perizinan dan gangguan masyarakat.

 

 

“Sekarang jadi ada Inpres No.2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional, padahal itu maksudnya untuk memberikan lex specialist,” ujar Gde. 

 

 

Seperti diketahui, inpres tersebut diterbitkan pada 10 Januari 2012 untuk mencapai produksi minyak bumi nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta barel per hari pada 2014. Dalam inpres tersebut, para bupati/walikota diinstruksikan agar melakukan percepatan dan kemudahan perizinan yang terkait dengan upaya peningkatan produksi minyak bumi nasional.

 

Selanjutnya masukan keempat, usulan keberpihakan kepada perusahaan nasional dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, baik di wilayah kerja baru mau pun melanjutkan pengusahaan atas wilayah kerja yang sudah habis masa kontraknya.

 

 

Terakhir, masukan soal petroleum fund. Menurut Gde, selama ini jumlah penawar blok migas masih kurang dibandingkan dengan jumlah blok migas yang ditawarkan karena datanya yang tidak lengkap, bukan karena para investornya yang tidak tertarik.

 

“Pemerintah sangat terbatas keuangannya untuk sediakan data. Dengan petroleum fund, pemerintah bisa mencari potensi-potensi baru sebelum ditawarkan ke investor. Dengan dana itu pemerintah juga bisa survei ke daerah-daerah frontier,” jelasnya.

 

 

Menurut Gde, kalau bisa jumlah anggaran untuk petroleum fund sebesar 5% dari total penerimaan negara dari sektor migas. Dana tersebut bisa digunakan pemerintah untuk melakukan survei geologi, seismik, tapi tidak sampai pengeboran eksplorasi.

 

 

“Sekarang rasanya tidak ada anggaran secara khusus untuk melakukan kegiatan survei-survei itu, sehingga paket data yang ditawarkan pemerintah saat lelang itu minim sekali,” ujarnya. (mmh)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...