Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

KAFE BISNIS: TEMPE-KEDELAI dan national interest kita!

Recommended Posts

Entah karena musim kering, panen yang tak begitu baik, atau konsumsi yang melonjak, baru-baru ini kita mendapat asupan informasi gencar tentang kelangkaan kedelai di negeri yang katanya "gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo" ini.

 

Anda tak perlu berkerut dahi untuk memahami kalimat bahasa Jawa kuno itu, yang kata ayah saya, yang pernah mengajar bahasa Jawa, artinya bisa lebih disederhanakan: subur makmur damai sejahtera. 

 

Anehnya, kita juga kerap mendengar ledekan Indonesia sebagai bangsa tempe. Buat saya, ledekan itu, meskipun konotasinya sangat negatif karena merujuk kepada mentalitas yang lembek dan cethek alias dangkal; tidak perlu membuat kecil hati apalagi menjadi kerdil.

 

Satu hal, tempe bukan makanan yang rendah gizi, bahkan rasanya pun enak. Terserah saja produser idiom itu membuatnya sebagai bahan ledekan, tetapi buat saya tempe adalah makanan favorit. Dan jangan iri pula kalau, bahkan, Jepang telah mematenkan tempe sebagai makanan produk asli mereka.

 

Tak perlu harus sewot kepada Jepang seperti kepada Malaysia. Negeri jiran itu memuat sewot banyak orang Indonesia karena mematenkan banyak barang yang mereka sangka produk asli nusantara, termasuk batik.

 

Tak perlu sewot kepada Jepang soal tempe memang, karena nyata-nyatanya Indonesia pun saat ini malah 'krisis kedelai', yang oleh banyak orang menyebutnya lantaran kegagalan tata niaga yang membuat petani tidak lebih sejahtera.

 

Maka, jangan kok kemudian berharap swasembada kedelai. Alih-alih swasembada, kini negeri kecintaan kita ini malah harus rela impor komoditas kacang-kacangan -- untuk tidak mengatakan kacangan --  itu.

 

***

 

Anda tentu masih ingat  penggalan syair lagu karya maestro musik Indonesia, Koes Plus yang bertajuk Nusantara. "Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman," begitu kira-kira penggalan syair lagu yang sangat terkenal di era 70-an tersebut.

 

Koes Plus tentu bukan bermaksud mengatakan tanam batu pun bisa tumbuh, tetapi kiasan hiperbolik itu tercipta sebagai maha karya untuk melukiskan betapa makmur sejatinya Indonesia.

 

Dari perspektif sumberdaya alam, jelas syair itu bermaksud mengingatkan bahwa Indonesia memiliki banyak lahan subur dan tentu saja di atas kertas juga produktif.

 

Tetapi mengapa sampai terjadi lonjakan harga kedelai yang dilaporkan lantaran pasokan langka?

 

 ***

 

Kelangkaan kedelai, sebagai salah satu bahan pokok berbagai jenis makanan yang populer di Indonesia, terutama tahu dan tempe, boleh dikata seperti gejala kemakmuran dan keemasan ekonomi, yang memang terus membaik.

 

Lho kok bisa? Jangan buru-buru sewot kalau saya berkesimpulan seperti itu. Secara teori, mungkin akan banyak ekonom tertawa. Tetapi, kelangkaan kedelai buat saya merupakan drama yang sejenis dengan kelangkaan infrastruktur.

 

Mungkin Anda akan bilang: kesimpulan itu ngawur dan ngoyoworo alias ngelantur. Tentu saya bilang tidak. Ketersediaan infrastruktur yang tampak semakin berjarak jauh dengan kebutuhan negeri yang sedang tumbuh kencang ini, suka nggak suka, adalah akibat dari ketidakmampuan pemangku kebijakan dalam mengejar ketertinggalan untuk menyediakannya.

 

Ibarat salesman perusahaan yang terus dikejar target, aktivitas penjualan bulan ini hanya berguna untuk menutup target yang meleset bulan sebelumnya, atau target tahun lalu yang tak tercapai. Artinya, situasi seperti itu sama saja menggali lubang baru untuk menutup lubang yang sudah ada.

 

Maka, kalau tidak ada big bang dalam penyediaan infrastruktur, ia akan terus tertinggal oleh kecepatan laju pertumbuhan ekonomi.

 

Begitu pula kedelai -- dan banyak komoditas pertanian lainnya. Meskipun semakin makmur orang akan semakin berkurang proporsi konsumsi bahan makanan pokok, tetapi konsumsi rata-rata perkapita Indonesia sesungguhnya masih relatif rendah jika dibandingkan dengan China yang sama-sama berpenduduk tambun.

 

Konsumsi kedelai China yang mencapai 60 juta ton, jauh di atas konsumsi kedelai Indonesia yang hanya sekitar 2 juta ton saat ini. Itu berarti, ruang kenaikan konsumsi kedelai Indonesia masih lebar, dan akan semakin meningkat karena produk turunannya berbagai macam jenis makanan berprotein, tidak hanya bentuk tradisional: tempe dan tahu.

 

Lantas mengapa produsen tahu dan tempe sampai mogok memprotes harga kedelai yang mahal?

 

"Kok, kenapa harga tempe dan tahu nggak dinaikin saja. Daripada rugi karena mogok?" begitu rekan duduk saya di pesawat Garuda dalam penerbangan dari Solo ke Jakarta Jumat (27/7) malam.

 

Logis juga sih. Kan daya beli konsumen sudah semakin meningkat. Kan kelas menengah Indonesia terus bertumbuh, bahkan bertambah 7 juta kelas menengah baru saban tahun.

 

Artinya, kalaupun harga tahu dan tempe dinaikkan, mestinya tidak jadi soal. Wong harga mobil yang naik berlipat-liat saban tahun pun nggak pernah disoal!

 

***

 

Broker, dalam bahasa keren, biasanya dikonotasikan bagus. Sebutlah broker saham, broker properti, broker valas dan lainnya, yang disebut sebagai pedagang perantara dalam sebuah mekanisme perantara perdagangan.

 

Meski penjelasan itu agak mbulet, tetapi dalam bahasa orang kebanyakan, broker sebenarnya tak ada bedanya dengan makelar, atau kalau dalam bahasa para peternak sapi di kampung saya: Blantik.

 

Maka jangan heran jika ada istilah blantik sapi, yang dalam domain elite dipelesetkan menjadi politik dagang sapi lantaran kekuasaan menjadi komoditas yang diperdagangkan.

 

Harga selangit komoditas kedelai, yang kini membuat banyak orang ribut, barangkali menjadi contoh mekanisme broker, makelar, tengkulak, atau per-blantik-an itu.

 

Andai saja mekanisme per-makelar-an dalam banyak komoditas pertanian bisa lebih tertib sesuai mekanisme pasar, tentu harga kedelai yang tinggi tidak perlu membuat repot.

 

Rupanya di situlah muaranya. Dan tidak hanya kedelai, melaoinkan beras, jagung, kacang tanah, dan banyak komoditas pertanian lainnya mengalami persoalan yang nyaris sama. Petani menangis karena mekanisme "tataniaga" yang tidak jalan sebagaimana mestinya. Jelas ini bukan sekadar pertani tak punya lahan seperti dalih menteri pertanian.

 

Anda tentu bisa membayangkan, petani kedelai yang sejahtera, karena memiliki lahan subur alias gemah ripah loh jinawi, dan panen kedelainya dibeli konsumen dengan harga yang pantas, bukan dipermainkan oleh tengkulak alias blantik yang justru mendapatkan margin tak terbatas?

 

Jika petani kedelai sejahtera, maka sudah barang tentu harapan agar mereka mau menanam komoditas tersebut akan lebih tinggi, karena mereka merasa tidak 'dikadali'.

 

Dan dengan begitu, solusinya bukan cuma sekadar membuka keran impor seluas-luasnya, menekan bea masuk serendah-rendahnya bahkan nihil, yang justru malah akan menciptakan problem baru yang tak diinginkan di kemudian hari.

 

Contek sajalah solusi Pegadaian: Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Maka membuka keran impor bagi komoditas pertanian yang menjadi hak para petani justru menjadi paradoks baru lainnya: mengatasi masalah dengan mewariskan masalah.

 

***

 

Di jaman Pak Harto, Anda yang mengalaminya tentu pernah atau bahkan sering mendengar setiap pertimbangan kebijakan selalu mengusung  klausula tegas: "demi kepentingan nasional."

 

Saya kira di situlah pokok permasalahan yang sebenarnya.  Apa yang disebut national interest kini menjadi hampir langka. Banyak sektor bisnis yang kehilangan roh kepentingan nasional atas nama daya pikat investor internasional.

 

Saking ekstrimnya, pernah seorang teman ekonom mengatakan kalau perlu presiden pun kita impor sekalian! Buat saya, itu adalah pernyataan kalap yang sangat anti-nasionalisme.

 

Jika sudah begitu, hanya ada dua cara membaca makna pernyataan tersebut. Sisi pertama, mungkin semakin banyak orang Indonesia yang semakin kehilangan jati diri, atau bahkan lupa ke-Indonesia-annya.

 

Atau sebaliknya, ia adalah bagian dari para blantik global, yang memang menikmati 'rente sosial' akibat globalisasi yang semakin mencengkeram anak-anak negeri yang lupa diri. Bagaimana menurut Anda? (arief.budisusilo@bisnis.co.id)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...