Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

KAFE BISNIS: Infrastruktur!

Recommended Posts

Ini benar-benar terjadi di bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta. Pesawat Garuda yang saya tumpangi kembali ke Jakarta pada Jumat  (22/6) pagi, tertunda take-off dari bandar udara internasional itu, bukan karena traffic yang padat, tapi karena ada 'hajatan'.

 

Lha kok bisa? Begini ceritanya. Saat duduk di kabin sekitar 10 menit, muncul pengumuman: "Para penumpang yang terhormat, seharusnya pesawat sudah mulai berangkat sekarang, namun saat ini sedang ada upacara militer, sehingga penerbangan mungkin baru akan dilakukan 15-20 menit lagi."

 

Ya. Penumpang di sekitar saya pun mulai ngedumel. Rupanya memang ada upacara yang tidak biasa, karena ada pesawat Hercules yang sedang parkir di pangkalan TNI-AU Adi Sutjipto, kemungkinan karena ada korban kecelakaan pesawat di Halim yang dipulangkan ke Yogya.

 

Namun karena lokasi pangkalan jadi satu dengan bandara komersial, dan musibah terjadi, apa boleh buat. Karena tak tahu apa yang terjadi, dan hanya disebutkan "upacara militer", penumpang mulai ngedumel.

 

"Wah, gimana ya, saya buru-buru ada janji pertemuan jam 1 siang nanti. Moga-moga jalanan Jakarta nggak terlalu macet," katanya.

 

Kenyataannya, kami menunggu di dalam pesawat bahkan lebih lama. Sekitar 20 menit kemudian, pesawat mulai didorong mundur menuju landasan pacu. Namun pesawat berhenti lagi dan menunggu sekitar 5 menit karena ada pesawat lain yang mau mendarat. Maka, hampir 30 menit jadwal take-off tertunda.

 

Ini seperti mengulangi pengalaman pada Kamis sore, saat saya berangkat ke Yogya melalui bandara Soekarno-Hatta. Ketika semua sudah siap, crew udara mengumumkan: "... pesawat belum mendapat izin untuk mundur karena padatnya traffic di bandara Soekarno Hatta."

 

Maklum. Nuansa kepadatan traffic itu juga tercermin dari kepadatan lalulintas darat di bandara terbesar di Indonesia itu. Untuk parkir pun macet luar biasa. Apalagi ini musim liburan sekolah.

 

Maka saya cuma menunggu nasib. Dan ketika ada tanda-tanda pesawat mulai bergerak sekitar 15 menit kemudian, kembali harus berhenti di tepi landasan pacu. Crew udara mengumumkan lagi, "...mohon maaf kita harus menunggu karena masih ada antrian 3 pesawat yang tinggal landas dan 3 hingga 4 pesawat lagi yang akan mendarat."

 

"Itu sih belum apa-apa mas. Saya pernah menunggu antrian 8 pesawat yang hendak take-off...gila," kata rekan saya yang lainnya.

 

***

 

Kembali, klasik kedengarannya. Kalau warga 'darat' DKI Jakarta selalu sibuk bicara kemacetan jalanan, maka bandara Soekarno-Hatta selalu bermasalah dengan antrean take-off dan landing karena keterbatasan runway sehingga membuat 'macet' di udara.

 

Bayangkan saja, traffic di bandara internasional tersibuk di Indonesia itu lebih dari 2.000 penerbangan dalam 24 jam, dengan 51 juta penumpang tahun lalu, merujuk data resmi pengelola bandara. Akibatnya, sarana mobilitas penumpang udara itu bukan lagi disebut padat, tetapi bahkan boleh dibilang 'macet'.

 

Apalagi dengan pertumbuhan penumpang mencapai 20% tahun lalu, lantaran ekonomi yang tumbuh stabil di atas 6% per tahun, sehingga kelas menengah yang bepergian menggunakan pesawat semakin bertambah. Teman saya bilang, "Bandara Soekarno Hatta akan benar-benar 'stag' nggak sampai lima tahun lagi."

 

Bandara Cengkareng bukan satu-satunya cerita khas. Hampir semua bandara kota besar di Indonesia umumnya sudah kelebihan beban.

 

Sayangnya, kemajuan perkembangan revitalisasi bandara begitu lambat, dan terlalu banyak wacana.

 

Kawan ngobrol di pesawat Garuda itu punya analogi lain. "Bagaimana mau memperbaiki bandara, mengganti pesawat militer yang umurnya lebih dari 20 tahun saja nggak bisa-bisa. Makanya kecelakaan terus. Padahal pabriknya sudah ganti nama," katanya merujuk kecelakaan pesawat Fokker di Halim Perdana Kusuma.

 

Maka, kalau lima tahun lagi bandara Yogya tidak berpindah tempat, bakal jebol. "Saya pernah muter sampai enam kali mau mendarat di Jogja. Terlalu padat," tuturnya.

 

***

 

Mestinya pemerintah bisa mempercepat proyek-proyek infrastruktur untuk transportasi publik itu. "Ini bukan karena nggak ada duit, tetapi karena korupsi yang merajalela,"  kata teman ngobrol itu.

 

Saya nggak bisa tidak setuju dengan premis tersebut. Dan jika Anda bicara infrastruktur, bukan hanya bandara yang menjadi soal.

 

Saya kerap tersenyum sendiri (tentu bukan karena gila), kalau mengingat cerita seorang pengusaha transportasi di Padang. Katanya, ada aturan di beberapa wilayah di Sumatra, di mana truk nggak boleh mengangkut barang lebih dari 10 ton. "Karena dianggap merusak jalan," katanya.

 

Lalu, apa yang dilakukan? "Ya terpaksa bak truk atau tangki minyak sawit dikecilkan, supaya tidak melampaui kapasitas yang dipersyaratkan."

 

Lha kok begitu? Bukankah jadi nggak efisien? Bukankah seharusnya kapasitas tonase jalan yang ditingkatkan agar bisa dilalui truk dengan muatan lebih dari 25 ton? Bukankah teknologi mesin transportasi makin maju, mesin makin berdaya dan mampu membawa kapasitas angkut lebih besar? Begitu kira-kira rasa penasaran saya.

 

Mungkin tidak hanya di Sumatra. Di banyak lintasan antarprovinsi di Jawa, kapasitas jalan masih relatif sama dengan warisan jalan jaman Belanda.

 

Akibatnya, truk-truk besar harus melewati jembatan timbang dan kena denda jika mengangkut dengan kapasitas lebih.

 

Maka, mau tak mau saya semakin setuju dengan premis tadi. "Ini karena korupsi yang meraja lela."

 

Bagaimana mungkin jalan pantura harus diperbaiki setiap menjelang Lebaran, dengan perbaikan yang massive, tetapi tiga bulan kemudian sudah penuh lubang?

 

"Kalau nggak begitu nggak ada proyek," kata rekan tadi.

 

***

 

Jika para poitisi, birokrat dan penguasa negara yang anda pilih lima tahun sekali memiliki keberanian untuk membuat politik anggaran yang jelas, seharusnya 'kelangkaan' infrastruktur tidak perlu terjadi.

 

Bayangkan saja, jika alokasi subsidi bahan bakar dan energi yang diperkirakan bengkak menjadi lebih dari Rp300 triliun tahun ini, sebagian dipotong untuk membangun bandara dan jalan raya, ceritanya tentu akan lain.

 

"Ini tanda bahwa pemerintah nggak sanggup mengikuti kecepatan pertumbuhan ekonomi."

 

Izinkah saya untuk setuju dengan premis tambahan itu. Ekonomi bergerak cepat, tapi infrastruktur dibangun ala kadarnya; anggaran yang disediakan bukan untuk membangun tetapi sekadar untuk memelihara.

 

Tapi kenapa negara lain kok bisa ya? Coba deh, Anda terbang di atas Malaysia atau China. Dari atas akan tampak jelas sekali jaring laba-laba jaringan jalan tol dan kereta yang rapi.

 

Mengapa? "Saya kira karena pemerintah nggak berani kekeuh pada tujuan pembangunan seperti di masa Pak Harto lalu."

 

Mengapa?  "Ya, nggak berani karena ada keterkaitan." Maksudnya? "Inilah kalau pemerintahan kental dengan suasana politik, semua untuk urusan partainya."

 

Maksudnya? "Saya percaya, kalau non-partai yang berkuasa, saya rasa malah bagus. Tidak direcokin."

 

"Ahh, saya nggak percaya. Coba lihat, Gubernur Jakarta juga non partai, dari birokrat. Tapi 'direcokin' juga."

 

"Sama saja. Gubernur Jakarta itu dari partai pengusaha...hahahaha," tentu celetukan ini hanya bercanda.

 

"Jadi, demokrasi dan otonomi yang jadi biang kerok korupsi?" mungkin itu pertanyaan berikutnya. Saya, terus terang, belum tahu jawabnya.

 

Ahh, rupanya masih perlu waktu untuk benar-benar memanfaatkan dividen demokrasi. Bagaimana menurut Anda? (arief.budisusilo@bisnis.co.id)

 

 

 

KOLOM LAINNYA:

 

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...