Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

DIVERSIFIKASI PANGAN: Pangan lokal sulit gantikan pangan utama

Recommended Posts

KUPANG: Sangat sulit menjadikan pangan lokal sebagai pangan utama pengganti nasi, karena faktor harga diri (gengsi).

 

"Mengonsumsi pangan lokal seperti jagung bose, pisang rebus, ubi-ubian, dinilai merendahkan martabat pengonsumsi, bahkan ketika kedapatan mengonsumsi pangan tersebut dianggap sudah kelaparan (ketiadaan beras), sehingga sangatlah berat menjadikan bahan makan lokal itu sebagai pangan pokok," kata pengamat pertanaian agribisnis Universitas Nusa Cendana Kupang Leta Rafael Levis, di Kupang, Sabtu, 9 Juni 2012.

 

 

Dia mengatakan hal tersebut terkait apakah dengan program mengonsumsi jagung dn umbi-umbian dan aneka ragam pangan lokal lainnya yang ada dan dimiliki daerah tertentu, NTT bisa mampu mengembalikan bahan makanan pokok tersebut sesuai kebiasaan daerah atau akan menjadi pangan pokok dan utama.

 

 

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang itu mengatakan, meskipun sulit dan berat dan dinilai melawan arus, pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi dan kampanye berkelanjutan untuk mewujudkan pengurangan konsumsi beras, guna mencapai surplus beras pada 2014 sebesar 10 juta ton.

 

 

Salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pengurangan konsumsi, adalah melalui diversifikasi pangan nasional.

 

 

"Diversifikasi atau penganekaragaman pangan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu solusi untuk mengurangi konsumsi beras yang akhir-akhir ini menjadi pangan utama sekitar 4,7 juta jiwa masyarakat di wilayah ini," katanya.

 

 

Dia mengatakan diversifikasi pangan ini di NTT ini cocok, karena saat ini sekitar 80% masyarakat di NTT berprofesi sebagai petani.

 

 

Dari total itu sekitar 68% sebagai petani lahan kering. “Itu berarti hampir sebagian besar dari mereka berpenghasilan utama jagung, umbi-umbia dan pangan lokal lainnya," katanya.

 

 

Sehingga, kata Leta Levis, sangat tepat kalau diversifikasi yang dicanangkan pemerintah pusat mutlak dilakukan untuk tidak menggantungkan kebutuhan pemenuhan pangan setiap hari pada beras.

 

 

Di tingkat Pemerintah Provinsi NTT, kata dia, Gubernur Frans Lebu Raya mencanangkan konsumsi pangan lokal sebagai konsumsi wajib masyarakat dua kali dalam sepekan merupakan cara lain untuk pemanfaatan dan pengoptimalan pangan lokal yang ada dan dimiliki masyarakat setempat.

 

 

Hanya saja, katanya, di tingkat pelaksanaan di lapangan berjalan karena tingkat kesadaran masih rendah dan masyarakat (petani) masih menganggap pangan beras/nasi merupakan makanan yang bermartabat dan pangan lainnya seperti jagung, umbi-umbian dan kacang, kedelai merupakan pangan yang apabila dikonsumsi menurunkan martabat.

 

 

"Pemerintah harus terus menggalakkan kepada anak-anak agar membiasakan makanan umbi-umbian, seperti talas, ganyong, jagung, sukun sebagai pengganti beras pangan lokal seperti ini memiliki kadar protein yang cukup tinggi dibandingkan beras,” katanya.

 

 

Dia mengatakan, saat ini potensi pangan lokal ubi dan umbian lainnya sangat tinggi tetapi lahan untuk pengembangan pangan tersebut di NTT sudah sangat minim, bahkan banyak petani yang tidak mengetahui lagi cara membudidayakan komoditas ini karena larut dalam perkembangan jaman akibat kemajuan teknologi.

 

 

Ubi kayu, misalnya, pada musim tanam 2010 luas tanam 106.183 ha, luas produksi 102.460 ha, produksi 1.032.538 ton dan produktivitas mencapai 100,77 kwintal/hal dan ubi jalar luas tanam 25.245 ha, luas produksi 15.251 ha, produksi 121.248 ton, produkstivitas 81,06 kwintal/ha.

 

 

"Jika dibanding dengan produksi ubi kayu pada musim tanam 2009 sebanyak 913,053 ton dan ubi jalar sebesar 103,635 ton atau mengalami peningkatan pada musim tanam 2010," katanya.

 

 

Pada komoditas kacang kedelai luas tanam pada 2010 mencapai 1.940 ha, luas produksi 1.758 produksi 1.780 ton, poduktivitas 10,13 kwintal/ha, kacang tanah luas tanam 21.176 ha, luas produksi 16.574 ha, produksi 20.069 ton dan produktivitas 12,11 kwintal/ha dan kacang hijau luas tanam 18.993 ha, luas produksi 15.767 ha, produksi 13.462 ton dan produktivitas 8,54 kwintal/ha.

 

 

"Produksi dan produktivitas komoditas ini jika dibandingkan dengan keadaan angka tetap 2009 mencapi kedelai 2 101 ton, kacang tanah 22 465 ton, kacang hijau 20 447 ton atau mengalami penurunan," katanya.

 

 

Penurunan produksi palawija pada umumnya disebabkan oleh penurunan luas panen karena puso dan adanya tanaman substitusi yaitu tanaman hortikultura yang ditanam pada areal yang sama, walaupun produktivitasnya rata-rata meningkat.

 

 

"Penurunan ini juga disebabkan tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung mengonsumsi beras, ketimbang komoditas pangan lokal yang ada dan dimiliki hampir di semua wilayah di NTT.(Antara/msb)

 

ARTIKEL LAINNYA:

 

 

SITE MAP:

 

 

 

 

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...