Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

RUPIAH TERUS ANJLOK, bagaimana jika kontrak berjangka?

Recommended Posts

Boleh jadi transaksi non de­­li­­­­ve­­ra­­ble forward (NDF) rupiah di Si­­­ngapura me­­­me­­­nuhi syarat untuk menjadi kam­­­bing hitam gonjang ganjing nilai rupiah minggu lalu. Mungkin sudah menjadi kebiasaan un­­­tuk menyalahkan spekulan tiap kali kita gagal membuat dan meng­awal sebuah kebijakan di sektor ke­­­uangan, terutama menjaga nilai ma­­­ta uang negeri ini.

 

Kita cenderung melupakan dua hal. Pertama, tiap transaksi yang me­­­libatkan lintas valuta melekat di dalamnya risiko nilai tukar. Untuk itu dibutuhkan sarana lindung ni­­­lai.

 

Tailor made forward yang di­­la­­kukan secara bilateral, selain ti­­dak efektif pada saat volatilitas ting­gi, ongkos yang mahal, juga tidak bisa di-offset bila tren berbalik arah.

 

Selain itu, ada unsur paling pen­ting yang hilang: absennya harga yang bisa menjadi acuan. Kesenjangan harga yang sangat lebar antara kurs tengah BI dan catatan NDF, akhir minggu lalu, menunjukkan nihilnya fungsi acuan tersebut.

Kedua, suka tidak suka, mata uang telah menjadi komoditas transaksi. Karena transaksi di ins­tru­men keuangan memiliki ba­­nyak keunggulan ketimbang transaksi aset fisik, sebagai cara memburu keuntungan, maka transaksi finansial telah membengkak pu­­­luhan kali lipat di­­ban­dingkan de­­ngan transaksi barang.

 

Pertanyaannya: bisakah negara ini imun terhadap fenomena global se­­macam itu? Apalagi ketika kita me­­nerima mekanisme pasar sebagai penggerak utama ekonomi? Kita masuk melenggang ke pasar bebas, tapi kita alergi terhadap sarana yang terbukti sangat efektif mengatasi ge­­jolak harga yang merupakan salah satu ciri yang melekat pada me­­ka­nisme pasar.

 

Kalau sejenak mau jeda dari lena indikator absolut saat ini, dan lebih memperhatikan tren ke depan, seyogianya kita layak untuk lebih berhati-hati. Tingkat pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,5% pada kuartal IV tahun lalu menjadi 6,3% di kuartal pertama tahun ini.

 

Cadangan devisa melorot dari puncaknya di US$123 miliar menjadi tinggal US$116 pada akhir April lalu. Nilai tukar telah ter­ge­rus hampir 10% selama 6 bulan paling bela­kangan.

 

Berikutnya mari kita simak data di pasar modal. Sejak tahun lalu, beberapa kali terjadi net sell in­­ves­tor asing yang signifikan di pasar sa­­ham. Tapi pada saat ber­samaan pe­­milikan surat utang meningkat. Ber­arti ada pergeseran bobot dalam kom­posisi portfolio para pemodal asing, tapi hot money masih berdiam di dalam negeri.

 

Tapi minggu lalu? Net sell asing di pasar saham tercatat hampir Rp7 triliun, pada saat bersamaan pemilikan asing di surat utang menurun sekitar Rp13 triliun.

 

Dikombinasikan dengan penuruan cadangan devisa, kita tidak bisa lari dari kesimpulan: Mereka be­­tul-betul mulai hengkang! Ti­­dakkah kita ha­­rus waspada pada efek negatif spiral ekspektasi: ketakutan terhadap depresiasi rupiah mendorong mereka pull out. Per­mintaan green back naik. Ca­­dang­an devisa turun. Rupiah terkoreksi lebih dalam, dan mendorong me­­reka pull out lebih cepat!

 

Di dataran yang lebih makro. Depresiasi nilai rupiah yang tajam meningkatkan country risk, me­­nye­ret Credit Default Swap ke atas. Me­­nu­runkan sovereign ra­ting (menghambat S&P untuk menaikkan nilai Indonesia ke jenjang layak investasi), menaikkan biaya dana dan se­­terus­nya.

 

BI berusaha “membujuk eks­portir” untuk memarkir dolarnya di dalam negeri. Nyaris tak berhasil! Pernah­kah kita berpikir de­­ngan logika pasar? Ketika saya perlu memarkir ken­daraan saya, saya akan mencari tempat yang masuk keluarnnya mudah, biayanya murah dan ada perlindungan terhadap nilai kendaraan saya. Adakah kondisi dan sarana untuk itu di sini?

 

Di media massa bertebaran sa­­ran para analis tentang cara me­­nyiasati kegelisahan rupiah, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Ada yang mengusulkan agar pemerintah mengajukan protes kepada Singa­pura karena mem­fasilitasi NDF.

 

Izinkan saya tertawa sebelum pembaca lain tertawa. Namanya NDF! Mereka tidak menyentuh rupiah secara fisik, tetapi hanya menyediakan kanal bagi saluran kegelisahan pebisnis, karena saluran di dalam negeri tersumbat.

 

Ada yang mengusulkan agar BI memutuskan hubungan antara NDF dan pasar spot. Saya terlalu bodoh untuk mengerti usul yang satu ini. Ada lagi usul untuk meminta Per­tamina—unit usaha dengan pundi dolar paling tebal—untuk ikut menenangkan rupiah.

 

Mengorbankan Pertamina untuk melakukan hal yang bukan tugasnya atau lisensi kepada perusahaan minyak untuk menjadi spekulan pula?

 

KONTRAPRODUKTIF

 

Pada tutup pasar Jumat minggu lalu, kurs tengah BI tercatat 9.310, sementara di NDF tercatat 9.980. Upaya BI untuk mengerek nilai ru­­piah menjadi kontra produktif. Ren­tang harga yang lebar merupakan salah satu pemicu spekulasi! Adding fuel to the fire! Meng­ang­kat rupiah dengan tali yang rapuh.

Hampir sepuluh tahun sejak 2000, saya, mewakili perusahaan tempat saya bekerja, berusaha un­­tuk memperkenalkan perdagangan berjangka rupiah di dalam ne­­geri.

 

Tidak ku­­rang setengah lusin pertemuan de­­ngan Otoritas Mo­­ne­ter, un­­tuk memohon izin mereali­sasikan gagasan tersebut. Otoritas berge­ming! Ja­­wabannya konsisten: “Jangan sentuh rupiah”.

 

Alasannya klasik, transaksi kon­trak berjangka mengundang spekulan. Seakan kewajiban menjaga nilai rupiah adalah eksklusif kewajiban mereka sendiri. Seakan mereka sendirian mampu mengawal perjalanan rupiah tanpa ma­­buk. Seakan-akan mereka punya mantera sakti untuk mengeleminasi naluri spekulasi dari instink manusia.

 

Gejolak rupiah minggu lalu membuktikan, untuk kesekian kalinya, bahwa spekulasi adalah fitrah manusia. Membuktikan bahwa kekuatan pasar harus di­­sia­sati dengan pen­dekatan pasar pula.

 

Ada banyak manfaat dari tersedia­nya kontrak berjangka yang terorga­nisasi di dalam negeri.

 

Pertama, tersedia sarana lin­dung nilai yang ekonomis, representatif pasar dan transparan. Ke­­tika payung lindung nilai tersedia, hot money tidak akan terlalu lasak berhadapan dengan gejolak perubahan musim.

 

Kedua proses price discovery pada perdagangan berjangka memberikan road map to future prices. Peren­ca­na­an usaha adalah future oriented business. Dalam perencanaan usaha ekspektasi harga merupakan im­­puls yang menentukan.

 

Kosongnya perdagangan berjangka rupiah meniadakan salah satu kompas yang diperlukan dunia usaha terkait kecenderungan nilai rupiah. Tanpa kompas yang terpercaya, mengapa kita he­­ran ketika pelaku bisnis main se­­ruduk.

Bank Sentral sendiri akan memperoleh beberapa manfaat.

 

Pertama, bukankah lebih mu­­dah mengendalikan pasar yang terorganisasi dan transparan ke­­timbang berhadapan dengan yang emosional dan tek tersentuh. Trans­aksi kontrak berjangka di organized exchange, 100% transparan.

 

Kita bisa mengetahui semua identitas pemain, setiap transaksi, posisi terbuka setiap rekening, mutasinya setiap hari. Ada limit posisi. Bisa membedakan mana spekulan dan bo­­nafide hedgers, mana transaksi spekulatif dan transaksi yang memiliki underlying transactions.

 

Kedua, intervensi pasar akan jauh lebih ekonomis dan efektif melalui pasar futures ketimbang di pasar spot. Bukankah kita mengakui bahwa harga rupiah sering lebih didominasi oleh ekspektasi daripada tarik menarik keuatan permintaan dan pe­­na­waran yang berasal dari kebutuhan valas riil saat ini?

 

Bukankah pemenuhan kebutuhan dolar bisa disebar ke banyak dimensi waktu sehingga tekanan yang ditimbulkannya akan lebih ringan ke­­tim­bang bila semua kepanikan disalurkan dan bertumpuk hanya pada pasar spot semata?

 

Hasan Zein Mahmud adalah Tim Ekselensi Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, Jakarta

 

BERITA LAINNYA:

 

 

 

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...