Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

EDITORIAL BISNIS: Menguji efektivitas instrumen BI

Recommended Posts

Depresiasi rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini membuat kinerja rupiah di posisi terjelek kedua di Asia dengan penurunan 3,94% pada sepanjang tahun ini.

 

Data Bloomberg menyebutkan kinerja rupiah hanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan mata uang rupee India yang pada sepanjang tahun ini terkoreksi paling dalam sebesar 4,82%.

 

Kinerja dolar Taiwan terapresiasi 2,26% pada sepanjang tahun ini, tertinggi, disusul dolar Singapura 1,71%, peso Filipina 1,35%, ringgit Malaysia 0,90%, dolar Hong Kong 0,12%, dan baht Thailand 0,06%.  

 

Kinerja rupiah yang terdepresiasi tersebut tidak terkait dengan fundamental makroekonomi negara kita yang positif. Pelemahan rupiah lebih terkait dengan terbatasnya likuiditas dolar AS di pasar valas domestik dan aksi jual pemodal asing di obligasi pemerintah dan saham.

 

Ketika orang menjual rupiah di Rp9.200, setelah itu dia tidak bisa membeli rupiah pada harga yang sama karena terdepresiasi. Akibatnya, orang-orang yang masih memiliki dolar AS enggan menjualnya, sehingga likuiditas menyusut.     

 

Pada sepanjang bulan ini saja, pemodal asing telah menjual obligasi pemerintah senilai Rp3,9 triliun dan US$676 juta. Dari aksi jual ini, pemo­dal asing menjual ru­­­­piah dan dibelikan do­­­­lar AS sehingga hal ini mendorong permintaan dolar.

 

Hingga pukul 16.38 WIB kemarin, rupiah melemah 1,3% ke le­­­vel Rp9.606 per dolar AS, pelemahan terbesar sejak November 2009.

 

Situasi itu membuat Bank Indonesia kemarin mengeluarkan instrumen yang disebut dengan de­­­posito berjangka khu­­­sus untuk valuta asing untuk mengendalikan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. BI juga berharap instrumen itu bisa meningkatkan kedalaman pasar.     

 

Sebenarnya, sebelum BI merilis kebijakan deposito berjangka khusus valas tersebut, bank sentral telah mewajibkan dana devisa hasil ekspor untuk ditempatkan di bank-bank di Indonesia. Namun, bank justru menempatkan dana valas tersebut di pasar uang global dengan bunga rendah 0,1%-0,2%, sehingga uangnya kembali ke luar.

 

Instrumen deposito khusus itu, yang berjangka 7 hari, 14 hari, dan 1 bulan, ibaratnya seperti kolam untuk menempatkan ikan hasil tangkapan agar tidak lepas lagi ke laut sehingga ikan-ikan itu tersedia saat dibutuhkan.

 

Situasi itu mirip ketika pasar finansial kita kebanjiran aliran dana panas dari luar negeri sebelum dan sesudah dua lembaga pemeringkat internasional memperbaiki peringkat utang menjadi kategori investasi. Saat ini, ada wacana mengeluarkan instrumen untuk menangkap hot money tersebut.

 

Tanpa instrumen yang tepat, seperti aliran keluar masuk dolar AS di pasar finansial kita, cukup repot untuk menangkap dana panas agar bisa bertahap lebih lama dan idealnya diharapkan bisa mendorong bisnis di sektor riil.

 

Sekali lagi, instrumen deposito khusus valas itu belum teruji efektivitasnya di pasar valas domestik. Namun, respons cepat dari Bank Indonesia itu patut diapresiasi, mengingat tanpa stabilitas rupiah, hal itu bisa mendistorsi pasar saham dan pasar surat utang negara.

 

Apabila rupiah terus terdepresiasi secara signifikan, emiten-emiten yang memiliki utang dalam dolar AS, bisa kesulitan dalam membayar bunga dan pokoknya. Jika hal itu terjadi, potensi gagal bayar bukan tidak mungkin semakin banyak, se­­hingga menurunkan tingkat kepercayaan investor terhadap saham tertentu.

 

Bagi investor, dengan fluktuasi rupiah akhir-akhir ini, ada baiknya mencermati saham-saham emiten yang mempunyai porsi utang dolar AS tidak terlalu besar, apakah itu dalam bentuk obligasi dan pinjaman bank.

 

MORE ARTICLES:

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...