Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Ketika DPR Gemar Membentuk Panja

Recommended Posts

Boleh jadi, tahun ini disebut sebagai tahun politik, dan menjadi momen pemanasan menuju 2014. Industri perbankan pun mau tak mau terkena imbas dari proses warming up tersebut.

 

Seperti yang terjadi pada Senin (28/1). Rapat dengar pendapat di Komisi XI DPR dengan sejumlah ekonom pada Senin (28/1) baru saja ditutup. Sebagian di antara peserta rapat masih sibuk saling sapa di dalam ruang pertemuan.

 

Belum 10 menit rapat usai, tangan kanan Harry Azhar Aziz pimpinan RDP hari itu sudah terlihat mengapit rokok. Usai menyalami sejumlah koleganya, dia berbincang dengan beberapa peserta rapat.

 

Sore itu, Komisi XI baru saja mendengar ‘kuliah’ singkat sejumlah ekonom  seperti Rizal Ramli, Revriosnd Baswir, Kwik Kian Gie, dan Dradjad H. Wibowo.

 

“Gimana Rif, setuju kita bentuk panja [panitia kerja] obligasi?,” tanya Harry Azhar kepada koleganya di komisi, Arif Budimanta. Arif Budimanta merupakan anggota Komisi XI dari fraksi PDI Perjuangan.

 

Pembicaraan di tengah ruang rapat itu lantas melibatkan Harry Azhar, Dradjad Wibowo, dan Arif Budimanta.

 

Mendengar nama panja obligasi, Dradjad langsung bereaksi. Dia mengusulkan agar nama panja yang akan dibentuk komisi XI tidak menggunakan istilah panja obligasi.

 

Dia berdalih penggunaan kata obligasi berpotensi langsung menimbulkan gejolak di pasar modal. “Kalau pakai nama obligasi nanti pasar langsung bereaksi,” katanya.

 

Dradjad yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) menyarankan supaya menggunakan istilah lain. Arif Budimanta yang turut dalam obrolan ringan itu mengusulkan nama, panja surat utang negara (SUN).

 

Entah angin apa yang tengah bertiup di Senayan, sehingga masalah obligasi rekapitalisasi kembali berhembus, bahkan sampai harus berujung rencana pembentukan panja.

 

Belum sampai obrolan panja obligasi rekap itu terbentuk, selang 3 hari kemudian suara merdu pembentukan panja kembali mengemuka di ruang rapat Komisi XI. Pencetusnya kali ini, politisi senior asal Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng.

 

Ide membentuk panja kali ini berangkat dari pertemuan antara Komisi XI dengan Deputi Bank Indonesia Ronald Waas dan perwakilan PT Pan Indonesia Bank Tbk (Bank Panin), pada Kamis (31/1).

 

Dalam rapat yang berakhir siang itu, Mekeng terlihat paling ngotot supaya pimpinan sidang memutuskan membentuk panja mengusut tindak kejahatan keuangan di lingkungan perbankan.

 

Mekeng mempertanyakan sistem pengawasan BI terkait masih adanya cara-cara pembobolan dana yang merugikan nasabah.

 

Ngototnya Mekeng lantas memunculkan pertanyaan, ada apa gerangan anggota dewan yang terhormat begitu ngotot membentuk panitia kerja? Apalagi, yang ingin diusut adalah masalah fraud di sebuah bank swasta dengan nilai yang relatif tak terlalu besar.

 

Menarik garis lebih panjang lagi, usulan membentuk panja momentumnya berlangsung pada 2013, tahun yang kerap disebut-sebut sebagai pemanasan politik jelang pesta pemilhan umum (Pemilu) 2014.

 

Wajar, jika akhirnya usulan panja demi panja dari ruang sidang Komisi XI lantas dinilai lekat aromanya dengan kepentingan politik. Apalagi kalau bukan urusan ‘amunisi’ jelang pemilu.

 

Alur ini kian pas, karena tema yang diangkat terkait pembentukan panja bukan lagi temuan-temuan baru. Semua merupakan masalah lama, bahkan ada di antaranya yang sudah selesai di lingkup internal.

 

Usulan panja obligasi rekap, misalnya, dinilai tak terlalu mendesak, karena menyangkut keputusan politik di era 1997—1998. Apalagi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dengan tegas menyatakan secara bertahap akan mengurangi obligasi rekap di bank-bank pelat merah.

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Bambang PS. Brodjonegoro mengungkapkan pemerintah bersama DPR masih terus berupaya melakukan pembahasan tentang obligasi rekap tersebut. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir alokasi pembayaran bunga obligasi rekap terus turun.

 

Berdasarkan APBN 2013, alokasi untuk pembayaran obligasi rekap sebesar Rp8,52 triliun. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan alokasi melalui APBN Perubahan (APBN-P) 2012 Rp11,03 triliun.

 

Demikian pula dengan kasus yang terjadi di Bank Panin kantor cabang Banjarmasin Kalimantan Selatan yang terjadi pada 2010. Baik, BI maupun Bank Panin dalam pertemuan terbuka dengan Komisi XI DPR memberi penjelasan bahwa persoalan tersebut telah selesai di internal Bank Panin.

 

Saat menghadiri RDP beberapa waktu lalu, menarik untuk mengutip kalimat yang disampaikan oleh ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir. Dia memberi apresiasi dengan langkah yang akan ditempuh anggota parlemen dalam penyelesaian obligasi rekap. Hanya saja, dia menggarisbawahi sejauh mana kepentingan antarpihak dalam merampungkan masalah itu

 

“Apakah ada hubungan mesra antara sejumlah pihak dengan pihak yang duduk di sini [DPR]. Kalau hal itu terjadi, selesai sudah persoalan ini,” katanya.

 

Artinya, kalau ada kepentingan di lingkungan internal anggota parlemen yang melibatkan stakeholder, baik pemerintah maupun kalangan swasta, rasanya urusan sekelas panja pun bakal sia-sia. Tak ada makan siang yang gratis, begitu aromanya. Panja? Ah, gertak sambal saja. 

 

(arief.setiaji@bisnis.co.id)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...