Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Banjir, Derita Ekologi Jakarta

Recommended Posts

Dinamika perkembangan Jakarta saat ini seperti semakin sulit dikendalikan akibat mengikuti tuntutan kebutuhan hidup warganya. Sementara itu, kapasitas daya dukung dan daya tampung kota ini sudah melebihi kemampuannya. Itu sebabnya wajar Jakarta semakin sangat sensitif dengan masalah kebencanaan.

 

Hasil sensus 2010 menunjukkan bahwa penduduk Jakarta berkisar 9,6 juta jiwa atau lebih besar dari perkiraan awalnya sekitar 9,3 juta jiwa. Prakiraan jumlah penduduk yang ditetapkan berdasarkan RT RW Jakarta 2030, adalah mencapai jumlah 12,5 juta jiwa hingga akhir tahun perencanaan.

 

 

Jika melihat pada kondisi siang hari pada saat ini, populasi jumlah penduduk di Jakarta saja sudah mencapai 12,1 juta jiwa. Angka ini sudah hampir mendekati populasi yang dipersyaratkan yaitu 12,5 juta jiwa pada 2030. Sekarang baru 2011 saja, jumlah penduduknya sudah semakin sulit un tuk dikendalikan. Tidak dapat di ba yangkan bagaimana wajah kota ini untuk 20 tahun mendatang.

 

 

Dampak dari naiknya jumlah penduduk di Jakarta, adalah ma salah lahan yang semakin terbatas untuk memenuhi kebutuhan perumahan, industri, infrastruktur, perdagangan dan jasa serta lahan untuk keseimbangan lingkungan berupa ruang terbuka hijau (RTH).

 

 

Sejarah perkembangan RTH di Jakarta adalah cerita ironis berupa perseteruan antara nilai ekonomi dan nilai lingkungan dalam kebijakan tata kelola kota. Dari waktu ke waktu RTH terus tergerus. Masterplan Jakarta 1965-1985, RTH direncanakan seluas 37,2 %. Jumlah ini terus menyusut hingga

 

 

Masterplan Jakarta 2000-2010 yang direncanakan hanya 13,9 % dari luas kota. Jika dilihat pada data eksisting luas RTH ini masih diperdebatkan di kisaran 8% atau 9% dari luas kota.

 

Hingga saat ini belum ada peneli­­ti­­an lebih lanjut terhadap luasan areal RTH yang sebenarnya.

 

 

Perubahan kawasan hijau menjadi areal bisnis, secara kasat mata dapat di­­­lihat di lapangan. Sebagai contoh, kawasan Gelora Bung Karno, yang di­­­kelola pemerintah pusat ( Se­­­kre­­­tariat Negara), areal hijaunya terus mengalami perubahan fungsi. Hutan kotanya seluas 279 Ha telah ditetapkan dalam Rencana Induk 1965-85, hanya membatasi sekitar 20 % dari luas arealnya dapat dimanfaatkan un­­tuk bangunan publik. Tetapi pada saat ini masyarakat dapat melihat perubahannya secara drastis.

 

 

Beragam pusat perbelanjaan dan hotel telah tumbuh di kawasan hijau ini seperti Ratu Plaza/STC (1974), Sul­­tan Hotel (1976), Plaza Senayan (1996) Century Atlet (1996), Hotel Mulia (1997), Sudirman Palace (2003), dan Senayan City (2006). Kasus Mal di Taman Ria Senayan yang dibatalkan pembangunannya, se­­­makin menunjukkan kuatnya te­­­kanan terhadap perubahan fungsi ru­­ang hijau menjadi komersial akibat dinamika ekonomi.

 

 

Sementara wilayah resapan air lain­­nya di sekitar Kelapa Gading, telah ditetapkan sebagai areal RTH dalam Masterplan 1965-1985 seluas 1.288 Ha. Saat ini dengan rencana tata ruang yang baru kawasan ini te­­lah dirubah fungsinya menjadi kawasan pusat perbelanjaan dan per­­mukiman. Walaupun sudah dibuat Banjir Kanal Timur (BKT) un­­­tuk melindungi kawasan Kelapa Ga­­­ding, banjir dan genangan masih te­­­tap terjadi di kawasan ini pada tanggal 16 dan 17 Januari 2013.

 

 

Sejarah sekali lagi membuktikan, jika rumah air dirubah menjadi ru­­­mah manusia. Air tetap akan kembali ke rumahnya, karena kita gagal dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Perubahan lingkungan lainnya juga terjadi disekitar kawasan pesisir pantai utara Jakarta. Ka­­­wasan hutan bakaunya semakin hilang dan tergantikan oleh kawasan hutan be­­ton yang dibangun pengembang de­­­ngan design perumahan taman dan pusat kegiatan niaga reklamasi pantai utara.

 

 

Sementara di wilayah Jakarta Se­­­latan, yang ditetapkan sebagai ka­­­wasan resapan air dengan KDB (Koe­­­fisien Dasar Bangunan ) yang ren­­­dah. Saat ini telah terjadi pemu­­tih­an secara besar-besaran di wilayah Kemang dan sekitarnya dari ka­­­wasan permukiman menjadi ka­­­wasan komersial.

 

 

Perubahan alih fungsi peruntukan ini diperkirakan akan berdampak pa­­­da tingginya run off air. Sehingga air semakin sulit meresap karena wi­­­layah resapannya telah tertutup de­­­ngan bangunan apartemen, perto­­­koan dan pusat perbelanjaan. Akibatnya kita dapat melihat betapa dengan mudahnya air tergenang di jalan-jalan lingkungan di wilayah selatan akibat guyuran hujan lokal dalam intesitas sedang dan lebat. Jika kita memperdebatkan keabsah­an setiap bentuk kegiatan yang te­­­lah terjadi.

 

 

Apakah Jakarta dilarang tumbuh berkembang mengikuti dinamika masyarakatnya ? Pembangunan ti­­­dak dapat dilarang atau dicegah, te­­­ta­­pi kita harus mencari konsep pembangunan kota yang bagaimana yang dapat ditolerir?

 

 

Prinsip daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi dasar pem­­berian ijin boleh atau tidaknya kegiatan pembangunan disuatu kawasan. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung pe­­rikehidupan manusia dan ma­­­khluk hidup lain.

 

 

Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya un­­­tuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan ka­­­rakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan peman­­faat­an ruang yang sesuai.

 

 

Salah satu komponen daya du­­kung lingkungan, adalah masalah ke­­­tersediaan dan kebutuhan air. Saat ini layanan air bersih di Jakarta, ma­­­sih jauh dari yang diharapkan. Ke­­­ter­­batasan layanan mendorong terja­­­dinya peningkatan pengambilan air ta­­­nah secara berlebihan oleh para pemilik bangunan besar yang me­­­nyebabkan terjadinya penurunan per­­­mukaan tanah.

 

 

Pada tahun 2007, volume pengambilan air tanah dalam secara legal di Jakarta mencapai 22 juta meter kubik per tahun. Akan tetapi, volu­me penyedotan air tanah secara ilegal ternyata lebih besar sepuluh kali li­­patnya.

 

 

Aktivitas pengambilan air tanah secara berlebihan ini akan menurunkan permukaan tanah di wilayah Ja­­­karta. Jika tidak dihentikan sama sekali, maka proses penurunan tanah ini akan menyebabkan tanah se­­­makin ambles. Permukaan tanah yang turun inilah yang dituding sebagai akar permasalahan semakin tidak berfungsinya sistem drainase kota, akibat perubahan elevasi se­­hing­ga fungsi alami secara gravitasi ti­­dak berjalan.

 

 

Rekam jejak perubahan pemanfaatan ruang di Jakarta selama ini, adalah catatan penuh kelam dengan ber­­­bagai intrik kepentingan yang mengabaikan aspek tata kelola lingkungan. Evaluasi terhadap RTRW Jakarta 2000-2010 pada tahun 2006 me­­­nunjukkan adanya penyimpangan sebesar 70 sampai dengan 80 persen dari isi rencana dan program dari dokumen tata ruang.

 

 

Salah satu penyebabnya terjadinya banyak penyimpangan adalah dokumen RTRW Jakarta tidak didukung dengan kelengkapan aturan-aturan hukumnya agar dapat diimplementa­­si­­kan. Sementara kebijakan perizinan sebagai alat pengendali tata ruang saat ini telah berubah menjadi per­­izinan sebagai alat pendapatan (dae­­rah atau siapapun).

 

 

Ini adalah cermin buruknya layanan birokrasi dan perlu dilakukan pembenahan dan pembinaan terhadap mentalitas aparatnya. Setelah ke­­­jadian banjir 2013, apa yang dapat kita renungkan. Alam telah membe­­­rikan pelajaran yang sangat berharga ke­­­pada kita. Jika kita terlalu sering me­­nganiaya alam, maka tunggulah saatnya alam akan membalas segala kerusakan yang telah kita perbuat.

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...