Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Komoditas Tambang Cenderung Mengambang

Recommended Posts

2012 merupakan tahun yang menarik bagi komoditas pertambangan, yang ditandai dengan anjloknya harga di antara pergerakan beberapa komoditas lain yang cukup baik.  

 

Batu bara tercatat sebagai komoditas pertambangan-energi terburuk sepanjang tahun ini akibat kelebihan produksi di Australia, Indonesia, Afrika Selatan dan Kolombia yang tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan China dan Eropa.

 

Setelah sempat melayang di level US$130 per ton pada awal 2011, batu bara terus melemah ke harga US$106 per ton pada awal 2012, bahkan anjlok menjadi US$83 per ton pada Oktober sebelum bertahan pada kisaran US$90 per ton menjelang akhir tahun ini.

 

Sementara itu, untuk pertambangan logam, nikel merupakan komoditas terburuk. Setelah ber­ada di puncak level US$21.827 per ton pada Februari, nikel LME anjlok menjadi US$15.187 per ton pada Agustus, sebelum akhirnya berkonsolidasi di atas US$15.900 per ton menjelang akhir tahun. Sejauh ini, nikel telah kehilangan sekitar 2/3 dari nilai tertingginya yang dicapai pada Mei 2007 saat berada di level US$51.800 per ton.

 

Berbeda dengan batu bara dan nikel, komoditas tembaga justru mengalami pergerakan yang cukup baik. Harga tembaga LME mencapai puncak­nya di angka US$8.656 per ton pada akhir Februari, sebelum melemah ke US$7.251 per ton pada awal Juni. Namun, sejak September tembaga LME bergerak konsolidatif pada kisaran US$8.400 dan US$7.540 per ton. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kuartal akhir 2011 yang sempat berada di bawah US$7.000 per ton.

 

Lantas bagaimana outlook pergerakan harga komoditas sepanjang 2013?

 

Sebelum melangkah pada pembahasan outlook, perlu dijelaskan secara singkat beberapa faktor fundamental yang diduga mempengaruhi pergerakan harga.

 

Faktor Fundamental

 

Setidaknya ada dua faktor fundamental utama yang saling terkait. Pertama, pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi global pada 2012 yang masih bergerak lambat sebagai akibat dari krisis ekonomi 2008-2009 ketika perekonomian Amerika Serikat terus mengalami perbaikan hingga saat ini, bukan berarti ekonomi negeri adidaya itu telah pulih.

 

Tingginya angka pengangguran yakni sebesar 7,9% menjadi salah satu indikator bahwa ekonomi Amerika Serikat masih mencemaskan. Begitu pula zona euro yang masih bergulat dengan krisis keuangan dan perbankan, karena sebagian anggotanya mengalami kejatuhan ekonomi dan terancam gagal bayar hutang (default)  seperti Yunani dan Spanyol.

 

Pertumbuhan ekonomi di Zona Euro pada November lalu terkontraksi sebesar 0,1%, sebagai kejatuhan resesi kedua sejak 2009. China juga tak bisa lepas dari pengaruh negatif krisis yang dialami Amerika Serikat dan Eropa. Data pertumbuhan ekonomi China terakhir kali turun menjadi 7,4% pada Oktober dan terjadi perlambatan 7 kuartal berturut-turut.

 

Kedua adalah stimulus ekonomi. Terkait dengan perlambat­an ekonomi global, bank sentral utama di dunia melakukan kebijakan stimulus ekonomi demi memperbaiki ekonomi.

 

Setelah memberikan stimulus moneter yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE) 1 dan QE 2 pada Novem­ber 2008 – Juni 2010  dan  No­­vember 2010 – Juni 2011,  Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) pun kembali menggulirkan kebijakan QE 3 pada September 2012  berupa pembelian obligasi senilai US$40 miliar setiap bulan.

 

Terkait dengan dampak krisis ekonomi global terhadap perlambatan ekonomi, China pun menerapkan kebijakan stimulus ekonomi sejak 2008. Kebijakan terakhir untuk merespons perlambatan ekonomi terburuk dalam 3 tahun adalah stimulus yang dilepas pada September lalu, berupa paket infrastruktur sebesar US$157 miliar atau sekitar seperempat dari total paket stimulus sejak 2008.

 

Bahkan, kebijakan kontroversial pun diambil Bank Sentral Eropa (ECB) pada September lalu. ECB berencana membeli obligasi pemerintah zona euro, sekaligus menegaskan tekadnya untuk melakukan segala cara demi menyelamatkan euro.

 

Bagaimana keterkaitan ke­­dua faktor tersebut dengan pergerakan harga komoditas pertambangan pada 2013?

 

Faktor pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif akan memicu penurunan permintaan sehingga akan menekan harga.

 

Namun demikian, semakin besar kecenderungan ekonomi maka akan semakin besar pula peluang dilakukannya kebijakan stimulus ekonomi.

 

Kebijakan stimulus ekonomi mempengaruhi harga melalui dua cara yakni terkait dengan dampak positif pertumbuhan ekonomi terhadap permintaan komoditas sehingga harga akan menguat, dan terkait dengan faktor spekulasi, terutama akibat QE the Fed yang cenderung menekan dolar sehingga harga komoditas pertambangan (yang dinilai dengan dolar) cenderung menguat.

 

Sepertinya, kondisi ekonomi global pada 2013 akan bergerak tidak jauh dari tren tahun ini. Ekonom S&P memperkirakan ekonomi Amerika Serikat ke­­mungkinan akan relatif cerah, setelah secara gradual membaik sejak resesi 2008 dan 2009.

 

Sementara itu, khusus untuk zona euro, S&P terlihat kurang optimistis dengan memberikan perkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan datar sepanjang 2013, bahkan kemungkinan kembali jatuh ke dalam resesi mencapai 40%.

 

Berbeda dengan dua ka­­was­an tersebut, ekonom S&P mem­proyeksikan ekonomi China akan mengalami ‘soft landing’ dengan kisaran pertumbuhan ekonomi sekitar 8% pada 2013.

 

Prospek 2013

 

Perkiraan pertumbuhan pada tahun depan tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi 2012 sekaligus memberi kemungkinan bahwa faktor stimulus pun nantinya tidak jauh berbeda pada 2013.

 

Jika kondisi ekonomi memburuk pun, stimulus ekonomi akan cenderung bertambah sehingga pelemahan harga komoditas bisa tertahan. Sebaliknya, apabila kondisi ekonomi membaik, stimulus ekonomi akan berkurang dan terbuka peluang penguatan harga komoditas di level yang wajar karena dukungan spekulatif kenaikan harga komoditas juga berkurang.

 

Artinya, kedua faktor tersebut saling mengunci pergerakan harga komoditas pertambangan pada 2013 untuk ber­ge­rak di kisaran yang tidak jauh berbeda dengan tahun ini, dengan sedikit peluang pelebaran ke arah penguatan.

 

Batu bara dan nikel dipilih sebagai unit analisis terkait dengan tren 2012 yang buruk sehingga outlook mereka bisa dijadikan benchmark bagi outlook harga komoditas lainnya secara umum pada 2013.

 

Pada sisi lain, tembaga dipi­lih karena logam ini sangat luas penggunaannya di industri dan sangat penting bagi banyak sektor ekonomi lainnya, mulai dari infrastruktur, perumahan, hingga industri elektronik. Dengan demikian, pergerakan harga tembaga sangat terkait dan bisa menjadi indikator atas pertumbuhan ekonomi global.

 

Untuk batu bara, komoditas ini menyediakan 30,3% terhadap kebutuhan energi utama global pada 2011 dan menghasilkan 42% listrik dunia. Terkait dengan dampak krisis ekonomi, ancaman pelemahan harga batu bara masih berpotensi terjadi pada 2013 akibat kelebihan produksi.

 

Pada awal 2013, tingginya cadangan batu bara China masih menjadi faktor negatif terhadap harga, tetapi permintaan negara itu diprediksi menguat pada 2013.

 

Sekitar 56% dari konsumsi batu bara China terdapat di kawasan pusat, selatan, dan timur yang hanya memproduksi 33%.

 

Kebutuhan China akan batu bara diperkirakan masih terus menguat dari 7% pada 2010 menjadi 13%, atau sekitar 255 ton pada 2015.

 

Isu lingkungan hidup, tingginya biaya pertambangan lokal, berkurangnya cadangan, serta penguatan renminbi diperkirakan membuat impor batu bara oleh China semakin tinggi. Selain itu, potensi ke­­naikan harga bensin di Ame­rika Serikat turut memicu penurunan ekspor batu bara dari Negeri Paman Sam, sehingga bisa mendukung kenaikan harga batu bara.

 

Selama level psikologis US$80 per ton gagal ditembus, maka potensi penguatan harga ke level US$95-US$100 per ton masih terbuka. Artinya,  harga rata-rata batu bara berpotensi berada di level US$90 per ton pada 2013.

 

Untuk nikel, sekitar 65% peng­­gunaannya adalah untuk campuran pembuatan stainless steel (baja tahan karat). China merupakan negara dengan permintaan nikel tertinggi yaitu se­kitar 44% dari permintaan global.

 

Menjelang akhir 2012 ini, kenaikan harga nikel juga sempat didorong oleh larangan Pemerintah Indonesia atas ekspor mineral termasuk bahan baku nikel yang tak diolah (November 2012 Mahkamah Agung membatalkan larangan tersebut).

 

Pelarangan ini membuat ekspor nikel Indonesia ke China anjlok sekitar 1,5 juta ton pada Agustus dari 4 juta ton pada Mei. Ancaman pelemahan masih mungkin terjadi pada 2013, di mana terlihat potensi kenaikan surplus 66.000 ton.

 

Namun, harga komoditas nikel diperkirakan bisa naik sekitar 2%-3%, dengan perkiraan rata-rata harga US$18.000 per ton dibandingkan dengan US$17.840 per ton pada 2012. Selama level US$15.100 per ton bertahan, maka potensi pengujian ke atas level US$19.000 dolar per ton masih terbuka.

 

Khusus untuk tembaga, diprediksi akan relatif menguat terkait dengan membaiknya permintaan. China masih tetap menjadi faktor penentu di mana permintaan negara ini mencapai 40% dari total permintaan global.

 

Output produk tembaga dari China, sepertinya masih akan tumbuh 10%-15% pada tahun depan, dibandingkan dengan 18% pada tahun ini. Sentimen positif  tampaknya masih bisa diharapkan dari Amerika Serikat di mana sektor pe­­rumahan dan industri otomotif yang kian membaik akan berlanjut pada 2013.

 

Kawasan Eropa sulit diharapkan sebagai penyerap komoditas ini mengingat permintaan mereka masih melemah dan sepertinya tetap ’mati suri’ pada 2013.

 

Harga tembaga diprediksi bisa menguat sekitar 5%-10% pada 2013 dengan potensi menguji level US$9.000 per ton.

 

Namun begitu, angka US$10.000 per ton akan menjadi penentu tren positif komoditas tembaga, karena jika level tersebut gagal ditembus maka nantinya harga akan cenderung berkonsolidasi ke level US$7.500-US$8.500 per ton.

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...